Di balik kehidupan yang terlihat tenang, tersimpan kisah penuh rahasia dan pengkhianatan. Seorang pria telah memendam perasaan selama hampir dua dekade, menyaksikan dari jauh tanpa pernah ada yang tahu, terjebak di antara cinta dan rahasia kelam kel...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Di balik ketenangan yang tampak, ada cinta yang menerima tanpa memaksa, ada pengkhianatan yang pandai menyembunyikan, dan ada hubungan rumit yang penuh luka tak terlihat—semua menunggu waktu untuk bicara."
—Archie's quote.
───────────────────── Jangan lupa Votment ya. ─────────────────────
"Ada kerjaan ya, Mas?" Suara lugas Ivona—menyentak Archie dari lamunannya. Usai menutup telepon.
Menoleh, Archie mengangguk kecil, bergumam pelan. "Ada," ia mengusap kepala Ivona dengan lembut. "Tapi saya nggak tenang ninggalin kamu di sini." Ucapannya sarat dengan kehangatan yang tak terselubung, enggan meninggalkan istrinya.
Tawa lembut—keluar dari bibir Ivona. "Gapapa, Mas. Aku aman kok. Lihat tuh, rame banget," ujarnya meyakinkan, sedikit menunjuk ke arah sekeliling. "Mas pergi aja, nanti aku kabari kalau udah kelar."
Archie tetap tak bergeming, obsidiannya menyelam dalam, seolah berusaha menghafal setiap detail Ivona sebelum beranjak.
Ada sesuatu yang menyelubungi pikirannya, resah yang enggan ia ungkapkan. "Baiklah. Tapi kabarin saya kapan pun, ya. Jangan buat saya marah." Ujarnya berat, akhirnya—mengalah pada keteguhan sang istri.
"Siap, Pak!" Ivona, terkekeh mengangguk yakin, menyentuh perlahan lengan Archie sebelum berbalik. "Hati-hati, Mas," ucapnya lirih—lantas bergabung dengan beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi.
Matahari kian terik, menyepuh kulit, menggulir waktu perlahan. Kerumunan pun mulai menipis, mahasiswa satu per satu pergi, menyisakan Ivona yang terfokus dengan lembaran-lembaran dokumen di tangannya. Suasana senyap ditemani desau angin menyapa.
Meski terlihat tenang, netra teduh Ivona sesekali melirik sekitar, menyadari bahwa ia kini sendirian. Tapi, tetap abai akan rasa gelisah yang mulai merayap di dada. 'Hanya paranoia,' pikirnya.
Dari arah belakang, langkah berat terdengar mendekat, terlalu pelan untuk sekadar kebetulan. Ivona merasa ada sesuatu yang salah—saat ingin menoleh, sepasang tangan kasar sudah melingkari, mencengkram lehernya.
"Diam!" Bisikan itu dingin, mendekat di telinga.
Ivona meronta liar, tubuhnya terus menggeliat, hanya saja ia kalah—oleh bau bahan kimia menyeruak dari saputangan yang menutupi wajahnya, mulai berat napas Ivona. Kelopak mata meredup, tubuhnya pun melemah.
Pandangan awas, mengitari sekeliling. Sosok itu memastikan tak ada saksi, dalam satu gerakan mengangkat tubuh lunglai Ivona ke pundaknya. Jejak-jejak kecil—buku catatan, pena, dan kertas yang tercerai-berai di tanah—menjadi saksi bisu yang ditinggalkan.