LOF 16

341 109 37
                                    

This part is over 2000 words.

"Bukanlah malam yang membuatmu lemah, tapi keberanianmu untuk bertahan dalam gelap yang menjadikanmu kuat. Percayalah, fajar selalu menunggu mereka yang memilih untuk tetap berjalan."

—Ivona's quote.

"Tidak bisa tidur?" Suara rendah nan serak memecah keheningan, bak embusan angin yang tampak ragu menyentuh malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Tidak bisa tidur?" Suara rendah nan serak memecah keheningan, bak embusan angin yang tampak ragu menyentuh malam. Pria itu baru saja terbangun—pergerakan kecil di sisi kasur menariknya keluar dari mimpi.

Ivona menggeliat pelan, tubuh meringkuk, menekan perut dengan tangan, mencoba mengusir nyeri yang bergelayut tak kenal ampun. "Uhm... iya," lirihan gumam suaranya, nyaris tenggelam antara desah napasnya sendiri.

Pendar lampu kecil di atas nakas memancar sinar lembut, menciptakan bayangan remang yang menari pada dinding. Aroma lavender dari diffuser perlahan memenuhi ruang, seolah berusaha menenangkan, meski gagal menyentuh rasa sakit yang bersarang di tubuh Ivona.

Archie beringsut mendekat. Sebelah tangan menyusup ke bawah leher Ivona, diangkat dengan lembut, sementara tangan lainnya menopang kepala istrinya. Kini—wajah Ivona bertumpu pada dada yang berbalut piyama, mendengar denyut jantung Archie yang mengalun perlahan.

"Kenapa?" bisiknya, tangan besar itu menepuk pelan punggung Ivona, berusaha mengusir gelisah yang membelit.

Namun, bukan jawaban yang ia terima. Sebaliknya, isakan lirih terdengar, mengguncang ruang tenang. Archie merelai pelukan, cukup untuk melihat wajah Ivona. Ia dapati mata basah, pipi memerah, dan keringat tipis mengalir di pelipis istrinya, menciptakan gambaran keletihan yang tak mampu disembunyikan.

"Bilang sama saya, kenapa, hm?" jemarinya menyapu dahi Ivona, dengan gerakan perlahan, nyaris seperti doa. "Ssst... jangan nangis. Ada yang sakit?"

Ivona menutup mata, seolah mencoba menghindari pertanyaan itu, tapi akhirnya tetap mengakui dengan suara yang lebih mirip bisikan. "Perut aku... nyeri."

Kerutan muncul di dahi. Pandangan Archie menyusuri tubuh istrinya, sebelum berhenti di bagian belakang tubuh bagian bawah sang istri. Tersenyum samar, ia nampak mulai memahami sesuatu tanpa perlu rangkaian kata.

Bangkit, tanpa sepatah suara, Archie meninggalkan Ivona yang masih bergulat dengan rasa sakit dan malu. Tungkai pria itu melangkah menuju walk-in closet. Lalu kembali dengan sehelai kain tebal di tangan.

Dengan hati-hati, dia mengangkat tubuh Ivona, menyelipkan kain itu di bawahnya. Gerakan pelan begitu lembut, bak pelukan pagi yang hampir tanpa peringatan. Ivona tahu apa yang dilakukan Archie, tapi rasa malu terlebih dulu menyelimuti, menenggelamkan wajah di bantal. Ia rutuki kebodohannya—lupa akan jadwal bulanan yang datang tanpa aba.

"Sebentar, saya ambil kompres dulu," ujar Archie mengelus lembut rambut Ivona sebelum meninggalkan kamar.

Terpekur, menatap pintu yang tertutup perlahan. Pikiran Ivona melayang, menyentuh momen-momen singkat dalam pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Archie, pria yang baru ia kenal secara kebetulan, lalu diikuti perjodohan mendadak.

Labyrinth of fateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang