"Di setiap goresan mahakarya akan selalu ada seribu doa yang mengalun indah"
🥀🥀🥀
Satu persatu lilin padam. Meninggalkan asap yang berterbangan melalui celah-celah. Menyambut mentari yang menunjukkan keindahannya melalui jendela yang terbuka dengan perlahan. Namun, pesonanya enggan mengusik perempuan bersurai cokelat yang terbawa pada imajinasinya. Memandang lekat pada kanvas putih yang telah dipenuhi berbagai warna. Membentuk seekor kuda hitam yang berlari dengan gagahnya.
"Duke sudah pergi?"
Bibir yang terkatup sejak tadi, kini terbuka. Perkataan pertama yang ia ucapkan sama seperti biasanya. Mempertanyakan sang suami yang bahkan ia sendiri tidak yakin apakah memperdulikannya juga.
"Duke sudah berangkat Duchess. Duke menitipkan pesan."
Satu sudut bibirnya tertarik. "Mengatakan bahwa aku harus bersikap baik selama dia pergi."
"Benar Duchess."
Enggan merespon, ia memilih untuk terus melanjutkan goresan demi goresan indah di atas kanvasnya. Menyelesaikan bagian mata kuda yang menatap dengan tajam seakan siap keluar dari gambar tersebut. Mata yang menunjukkan dominasi itu mengingatkannya pada seseorang.
"Apakah kau tahu berapa lama Duke berangkat kali ini?"
"Saya rasa 3 tahun."
Menunggu. Menjadi satu hal yang akan selalu ia banggakan. Bayangan tentang indahnya masa tua seakan terenggut satu-persatu dengan nyata di hadapannya.
"3 tahun tidak akan lama jika kembali dengan keadaan sehat," ujarnya dengan diakhiri sentuhan detail terakhir pada kanvasnya.
"Itu akan sangat lama!" protes Gretta di hadapan Fredric yang kini sedang sibuk berkutat dengan laporan yang baru saja diberikan oleh Scott. Bahkan pria itu tidak terusik dengan suara Gretta yang naik beberapa oktaf.
"Fredric!"
"ya," jawab Fredric pada akhirnya. Namun, tidak henti juga melanjutkan kegiatannya.
"Tidak bisakah perang di selesaikan dengan cepat?" terdengar konyol memang, tapi Gretta memang ingin pria dihadapannya ini pulang cepat supaya semua strategi penaklukkan yang dia siapkan cepat terlaksana.
"Berhenti memperdulikanku Duchess."
"Gretta jika kau lupa," peringat Gretta.
Fredric mengalihkan atensinya. Menatap lekat pada manik biru yang kini melemparkan tatapan berbinar. Terlihat seperti lautan yang terpantul cahaya. Sangat indah.
"Berdoalah."
Gretta mengernyit bingung. Kenapa tiba-tiba dia justru seperti orang yang tidak pernah berdoa.
"Bahkan di kehidupan masa lalu aku selalu mendoakanmu!"
"Aku merasa terhormat untuk itu," jawab Fredric yang menganggapnya sebagai lelucon.
"Apakah banyak gadis di sana?"
Fredric menaikkan satu alisnya. "Atas dasar apa pertanyaan itu?" Menurutnya pertanyaan Gretta tidak pernah bisa dimengerti. Semakin hari semakin ada saja pertanyaan aneh yang membuatnya berpikir keras. Bukan karena sulit memahaminya. Hanya saja, jika seorang Gretta yang bertanya, maka itu akan menjadi sangat aneh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Duchess of Valtor
Historical FictionGretta Quinley harus menyandang gelar Duchess of Valtor atas paksaan kakaknya. Mengubur semua impiannya untuk menjadi Ratu di masa depan bersama sang kekasih, Putra Mahkota Kekaisaran Douglas. Gretta pikir menikah dengan Duke Fredric Caradoc of Val...