Gery adalah mahasiswa abadi yang memiliki kepribadian bar-bar dan kesabaran yang setipis tisu dibelah tujuh terus dicemplungin ke air. Ya, dia itu anaknya suka bener marah-marah.
Tetapi, malam itu dia pulang dari berkumpul bersama teman-temannya. J...
Hiruk pikuk di salah satu kafe memecah keheningan malam. Jam yang ada di dinding terus berdetak setiap detiknya. Di salah satu meja pojok kafe, ada sekumpulan tongkrongan untuk mahasiswa abadi yang meratapi nasib.
"Gue bener-bener ga bisa bayangin masa depan gue setelah ini." Gery menghela napas untuk ke sekian kalinya.
Teman-tenannya saling lirik, kemudian ikut menghela napas. Sudah satu jam penuh mereka meratapi diri karena menjadi mahasiswa abadi.
"Andai aja gue lebih giat dan belajar lagi pas awal semester. Aarggh!" Gery terus berceloteh, menenggak minuman soda hingga tandas. Rasanya lega saat air itu masuk ke tenggorokannya.
"Udahlah. Kalau lo gini ga bakal nyelesaiin masalah, kocak," ujar Teta, melirik jam yang menunjukkan pukul dini hari. "Harusnya lo belajar dari sekarang kalau lo emang nyesel. Dah, sekarang semuanya balik. Udah jam segini, tidur, istirahat, jangan malah nongkrong."
Teta berdiri, diikuti yang lainnya. Tetapi Gery seakan tidak ingin meninggalkan kafe itu.
"Tet," panggil Gery tiba-tiba.
Teta terpaksa menghentikan langkah, menokeh ke arah Gery. "Naon?"
"Maafin gue, ya."
"Ha?" Teta dan yang lainnya saling tatap, bingung dengan tingkah Gery malam ini. Ke mana perginya si emosian Gery? Yang bahkan tidak sabar mengantri di toilet umum.
"Entah kenapa kayaknya gue ngerasa mati malam ini," ucap Gery dengan tampang dramatis. Dia mencengkeram kemeja flanelnya, memperkuat dramanya pada Teta.
"Dasar gila. Mending lo pulang daripada kesambet jin ifrit."
Gery yang melihat itu berdecih. Setelah Teta dan yang lainnya pergi, kini tinggal Gery. Sejenak, Gery memandang sekitar yang lengang. Entah kenapa suasana malam ini terasa merinding dan mencekam, seakan terjadi sesuatu padanya nanti.
Tak ingin merasa gundah, Gery berjalan ke arah kasir. "Aing mau bayar."
Sang kasir tersenyum ramah. "Udah dibayar tadi bang, sama temennya."
"Oh? Sama Teta?" Gery melirik ke arah pintu meski dia tahu perawakan Teta sudah tidak ada di sana lagi. "Tumben tuh anak. Ya udah, aing pulang dulu."
"Iya bang, hati-hati di jalan!"
"Yoii!"
Gery segera keluar dari kafe. Pergi ke arah motornya yang terparkir. Dia mulai menghidupkan mesin, menancap gas dan membelah jalanan yang sepi.
Gery memperlambat lajunya saat menyadari ada yang mengikutinya dari belakang. Saat melihat ke arah kaca spion, matanya membola melihat benda tajam di tangan orang itu.
"Anjeng ada begal!" Karena panik, Gery mempercepat laju motornya.
Saat di persimpangan tiga, Gery terus melirik ke arah spion, sehingga dia tidak sadar bahwa ada mobil dari arah kanan melaju kencang. Hingga suara tabrakan terdengar memekakkan telinga, membanting tubuh Gery ke jalanan aspal.
BRAK!
Orang yang mengikutinya dari belakang sontak berbalik arah. Mereka adalah para begal yang melihat mangsanya mati, langsung pergi.
"Aw..." Gery meringis kesakitan. Tubuhnya terasa remuk. Dia bisa merasakan darah merembes keluar dari belakang kepalanya. Nasib sial, dia tidak memakai helm, membuat kepalanya terbentur aspal cukup keras.
Gery menatap nanar mobil yang perlahan jauh. Bahkan pengendara mobil itu tidak turun untuk melihat keadaannya. Mata Gery berkaca-kaca, secepat ini dia mati?
Padahal baru beberapa jam lalu Gery menyesal karena sudah menjadi mahasiswa abadi. Dan kini dia malah mati dengan kasus tabrak lari.
Sebelum kegelapan menghampiri, Gery berdoa dari hati yang paling dalam.