Sepanjang perjalanan pak Rahmat dan Inaya terus bercerita soal bagaimana wanita itu membohongi suaminya, bagaimana panik dan cemasnya dia saat berhadapan dengan Bara.
"Hahaha...Naya...Naya. Padahal gak usah setegang itu loh. Kita kan udah punya bukti kalo ibu beneran di rumah sakit."
"Iya sih pak. Tapi emang dasar Naya jarang bohong tetep aja gelagapan," timpal Inaya sambil menghela nafas panjang.
Pikirannya tertuju pada suaminya. Dalam hati masih ada rasa bersalah karena telah berselingkuh. Tapi jika mengingat apa yang Bara lakukan terhadapnya, rasanya apa yang ia lakukan masih belum ada apa-apanya dibandingkan Bara.
Kalau Bara bisa, diapun bisa. Begitulah kira-kira isi pikirannya. Hal itu semata-mata untuk membenarkan apa yang sedang ia lakukan saat ini.
Tubuh pak Rahmat terasa panas. Mungkin karena obat kuat yang ia konsumsi sebelum menjemput Inaya. Tangannya meremas tangan Inaya lalu mengecupnya.
Inaya santai saja, malah menggelayut di lengan pak Rahmat. Tidak tahu kalau lelaki itu hampir saja tidak kuasa menahan hasrat dan menubruknya saat itu juga.
Untungnya pak Rahmat dapat mengendalikan diri. Dia tidak mau terlihat seperti hanya menggunakan Inaya sebagai pelampiasan nafsunya. Ia harus memperlakukan Inaya dengan baik.
Tak terasa mobil telah sampai di rumah pak Rahmat. Lelaki paruh baya itu langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
"Silahkan turun tuan putri," ucap pak Rahmat seraya membukakan pintu untuk Inaya. Wanita itu tersenyum lalu menerima uluran tangan pak Rahmat saat turun dari mobil karena lumayan tinggi.
Hati Inaya berbunga-bunga kala menerima act of service dari pak Rahmat. Tidak terkesan lebay meski Inaya sebenarnya bisa turun sendiri.
"Makasih, sayang," balas Inaya. Mereka lalu masuk ke dalam rumah. "Ikut bapak, sayang." Pak Rahmat menarik tangan Inaya lembut untuk mengikuti arah jalannya.
Inaya tertegun saat matanya melihat meja ruang makan sudah dihias begitu rapi. Ada dua piring dalam posisi terbalik, serta pisau, sendok dan garpu yang ada di kanan kirinya.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian Inaya, melainkan lilin-lilin kecil yang menghiasi bagian tengah meja makan tersebut.
"Pak, ini bagus banget! Bapak yang nyiapin semuanya?" ucap Inaya tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Pak Rahmat tersenyum. "Iya, sayang. Makanannya tadi bapak pesan online, soalnya kalo masak sendiri takut gak keburu. Maaf bapak cuma bisa nyiapin seperti ini. Waktunya terlalu mepet."
Inaya menoleh ke arah pak Rahmat. Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak, pak. Ini tuh bagus banget! Bapak tau darimana kalo Naya mimpiin candle light dinner?"
Tak dipungkiri, candle light dinner adalah sesuatu yang sudah lama ia impikan. Itu adalah salah satu wishlist di hidupnya yang belum pernah kesampaian.
"Kamu masih inget, gak waktu kecil kita pernah candle light dinner sama-sama? Waktu itu gak sengaja lagi mati lampu malem-malem. Bapak, ibu, Dina, sama kamu makan malem ditemani lilin sebatang."
Inaya terdiam. Pikirannya terlempar ke masa lalu. Dimana ketika itu Inaya masih berusia sekitar tujuh tahun. Dia ingat betul kala itu kondisi gelap gulita. Dirinya takut sekali tapi pak Rahmat menenangkannya.
Ditemani lilin itu Inaya dipangku di paha kanan pak Rahmat. Kala itu Inaya begitu takut hingga tidak mau turun dari pangkuan pak Rahmat.
Flashdisk
"Pa, takut!" seru Inaya sambil memeluk leher pak Rahmat ketika lampu tiba-tiba padam saat mereka akan makan malam.
"Gak usah takut, Naya kan anak pemberani!" timpal pak Rahmat seraya mengusap rambut Inaya yang hitam sebahu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lendir Di Sekolah
RomanceInaya, seorang guru muda yang baru saja menikah, bertemu kembali dengan pak Rahmat, ayah dari teman masa kecilnya dulu yang pernah merawatnya juga. Pak Rahmat datang menjabat sebagai kepala sekolah di tempat Inaya mengajar. Kedekatan yang dulu perna...