Bab 7

21.4K 1.7K 23
                                    

Pagi tiba dengan suasana yang canggung di kamar Remiel.

Matahari bersinar terang, namun atmosfer di dalam ruangan terasa dingin.

Remiel membuka matanya perlahan, dan hal pertama yang dilihatnya adalah keluarganya yang masih berada di sana.

Kaisar Aldrian duduk di kursi, mencoba menjaga sikap tenangnya meskipun matanya menunjukkan rasa lelah.

Permaisuri Elara berdiri di dekat ranjang, ragu-ragu namun penuh perhatian.

Di sisi lain, kakak kembarnya, Kaelan dan Aedric serta putra mahkota berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca, campuran rasa bersalah dan khawatir.

"Remiel..." suara lembut ibunya memecah keheningan. Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Kamu sudah bangun, sayang?"

Remiel menatap mereka dengan ekspresi datar.

Dalam pikirannya, berbagai kenangan masa lalu remiel asli berputar kenangan di mana ia menangis mencari perhatian mereka, hanya untuk diabaikan.

Ingatan itu terlalu kuat, terlalu menyakitkan untuk dilupakan begitu saja.

"Hmm," gumam Remiel pelan. Ia tidak memberikan respons lain, hanya menoleh ke jendela, menghindari tatapan mereka.

Kaisar, yang biasanya tegas dan tidak pernah menunjukkan emosi, tampak tidak nyaman.

Ia berdeham pelan, mencoba memulai percakapan. "Bagaimana perasaanmu? Apakah ada yang sakit?"

"Baik saja," jawab Remiel singkat, tanpa menoleh.

Kaelan melangkah maju, suaranya pelan namun ragu. "Adik, kami... mendengar apa yang terjadi kemarin. Kau... kau sangat berani. Itu..."

"Itu apa?" potong Remiel dingin, masih menatap keluar jendela. "Mengejutkan? Tidak sesuai dengan citra 'pangeran pembuat onar' yang kalian pikirkan?"

Kata-kata itu membuat Kaelan terdiam, wajahnya menegang.

Aedric mencoba melanjutkan, meskipun nada suaranya terdengar canggung. "Kami tidak bermaksud begitu, Remiel. Kami hanya... tidak menyangka..."

Remiel menoleh sejenak, memberikan mereka tatapan dingin yang tidak biasa dari dirinya. "Tidak perlu menjelaskan. Kalian tidak perlu memaksakan diri untuk peduli sekarang, setelah sekian lama."

Permaisuri Elara terlihat semakin gelisah. Ia mendekat, mencoba mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu putra bungsunya. "Remiel, ibu-"

"Ibu?" potong Remiel tajam, membuat Elara terhenti. Suaranya pelan, tapi penuh emosi yang tertahan. "Sejak kapan aku memiliki seorang ibu yang benar-benar peduli?"

Elara membeku, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku ingat saat aku jatuh sakit selama seminggu penuh," lanjut Remiel, nadanya getir. "Aku demam tinggi, tapi tidak ada yang datang menanyakan kabarku. Kalian terlalu sibuk dengan urusan kalian sendiri. Dan sekarang, tiba-tiba semuanya berubah? Apa karena aku tidak sadarkan diri kemarin?"

"Remiel, itu tidak adil..." Kaisar akhirnya angkat bicara, suaranya rendah namun tegas. "Kami... kami membuat kesalahan, tapi kami tidak pernah berhenti memikirkanmu."

Remiel terkekeh pahit, menatap ayahnya dengan sinis. "Oh, jadi membiarkan aku tumbuh sendiri, tanpa cinta atau perhatian, adalah bentuk dari memikirkan aku? Ayah, tolong jangan bercanda."

Kaisar terdiam, tidak bisa menyangkal ucapan putranya.

Kaelan, yang tidak tahan melihat suasana ini, mencoba mendekat lagi. "Remiel, kami benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kami... kami menyesal."

"Menyesal?" Remiel menoleh dengan tatapan penuh luka. "Kalian menyesal sekarang, setelah bertahun-tahun aku diabaikan? Kalian tidak tahu rasanya menjadi aku. Tidak tahu bagaimana rasanya dilupakan oleh keluargamu sendiri."

Aedric mencoba ikut berbicara, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami... kami mengerti kau marah. Tapi beri kami kesempatan. Tolong..."

Remiel tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya, mencoba mengendalikan emosinya yang hampir meledak.

"Remiel..." suara ibunya terdengar lagi, pelan dan penuh rasa sakit. Ia mendekat, mencoba menggenggam tangan putranya. Namun Remiel dengan lembut menarik tangannya, menolak sentuhan itu.

"Aku lelah," katanya singkat, menutup matanya lagi.

Keluarga itu terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Kaisar, Permaisuri, dan ketiga kakaknya merasakan sesuatu yang menusuk hati mereka.

Rasa sakit itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata campuran penyesalan, rasa bersalah, dan kesedihan mendalam.

Ketika mereka meninggalkan kamar Remiel, suasana hati mereka begitu berat.

Di luar kamar, Kaisar Aldrian berjalan dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kenangan tentang putra bungsunya.

"Apa aku terlalu keras?" gumamnya pelan, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Elara menggenggam lengannya dengan erat, air mata masih mengalir di pipinya. "Aku tidak pernah menyangka... dia begitu terluka. Kita... kita benar-benar telah menyakitinya."

Kaelan dan Aedric mengikuti di belakang, wajah mereka penuh rasa bersalah.

"Kita harus melakukan sesuatu," kata Aedric akhirnya, suaranya penuh tekad. "Dia tidak akan mempercayai kita begitu saja. Tapi aku tidak ingin melihatnya terus menderita seperti ini."

Kaelan mengangguk. "Aku juga. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, aku akan memastikan dia tahu bahwa kami benar-benar peduli."

Kaisar berhenti berjalan, menatap kedua putranya. "Jika kalian serius, maka lakukanlah. Buktikan bahwa kalian tulus."

Elara mengangguk setuju, meskipun wajahnya masih terlihat hancur. "Aku juga akan mencoba... meskipun aku tidak tahu apakah dia akan memaafkanku."

Mereka semua tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Luka di hati Remiel terlalu dalam, dan rasa sakit itu tidak akan hilang begitu saja.

Tapi untuk pertama kalinya, mereka semua memiliki tekad yang sama: memperbaiki hubungan yang telah hancur selama bertahun-tahun.

~~~~~~~~~~

Di dalam kamarnya, Remiel masih terbaring dengan mata terbuka. Ia mendengar langkah kaki keluarganya yang perlahan menjauh.

Ia menghela napas panjang, rasa lelah memenuhi hatinya.

"Mereka bilang ingin berubah," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi... apakah aku bisa mempercayai mereka?"

Kenangan masa lalu remiel asli kembali menghantui pikirannya.

Tangisan kecilnya saat meminta perhatian, harapan-harapannya yang hancur saat tidak ada seorang pun yang datang.

Semua itu terasa terlalu nyata, terlalu menyakitkan untuk dilupakan.

Remiel menutup matanya, mencoba mengabaikan konflik yang bergejolak di dalam hatinya. Di satu sisi, ia ingin mempercayai keluarganya. Tapi di sisi lain, ia terlalu takut untuk terluka lagi.

Saat itu, ia berdoa dalam hati, berharap waktu akan memberikan jawabannya.

VOTE VOTE VOTE🌹🌹🌹 🥹🥹🥹



Become the youngest prince [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang