Kabar tentang insiden yang melibatkan Remiel akhirnya sampai ke telinga Kaisar Aldrian Magnus Valcrest dan Permaisuri Elara Celine Valcrest.
Meskipun biasanya sang Kaisar mengabaikan laporan tentang putra bungsunya, cerita ini berbeda.
Perubahan sikap Remiel sudah mulai menarik perhatian semua orang, termasuk kedua orang tuanya.
Malam itu, Kaisar dan Permaisuri mendatangi kamar Remiel, ditemani oleh ksatria yang sebelumnya ditolong oleh sang pangeran.
Kaisar berdiri di ambang pintu, alisnya berkerut dalam kebingungan. “Apa ini benar? Dia menyelamatkan seorang ksatria? Bukan membuat onar?” tanyanya, setengah tidak percaya.
Permaisuri Elara melangkah masuk, matanya tertuju pada sosok Remiel yang terbaring lemah di atas ranjang.
Ada keraguan di langkahnya, tapi ia mendekat perlahan. Tangannya gemetar saat menyentuh tangan dingin putranya.
“Putra kecilku…” bisik Elara, suaranya bergetar. Isakan pelan mulai terdengar dari bibirnya.
Kaisar, yang masih berdiri di ujung ruangan, hendak berkata sesuatu lagi, namun seorang ksatria yang hadir memberanikan diri untuk angkat bicara.
“Maaf, Yang Mulia, atas ketidaksopanan saya,” katanya dengan hormat sambil membungkuk. “Saya hanya ingin meluruskan bahwa Pangeran Remiel tidak bersalah. Beliau menolong saya saat saya terjatuh. Jika bukan karena beliau, mungkin saya akan terluka lebih parah. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada beliau ketika beliau terbangun nanti.”
Kaisar menatap ksatria itu dengan tatapan tajam, mencoba mencari tanda kebohongan. Namun, wajah ksatria itu penuh dengan kejujuran.
Dengan perlahan, Kaisar mengalihkan pandangannya ke Remiel yang masih terbaring lemah.
Dia tidak menyangka. Selama ini, dalam pikirannya, Remiel hanyalah anak nakal yang selalu membuat masalah.
Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ada rasa ragu menyusup di hatinya.
“Baiklah. Kau boleh pergi,” kata Kaisar akhirnya, suaranya berat. Ksatria itu membungkuk dalam sebelum meninggalkan ruangan.
Elara masih memegang tangan Remiel, air mata membasahi pipinya.
Kaisar mendekat, duduk di kursi di sisi lain ranjang. Wajahnya tetap tegas, tapi sorot matanya melembut.
~~~~~~~~~~~~~~~
Tengah malam, Remiel membuka matanya perlahan.
Pandangannya masih buram, tapi ia bisa merasakan kehadiran seseorang di sampingnya.
Ketika pandangannya mulai jelas, ia mendapati sang ibu tertidur di tepi ranjang, masih menggenggam tangannya.
Ia mengalihkan pandangan dan melihat sosok sang ayah, tertidur dengan kepala bersandar di kursi.
Tangannya masih memegang tongkatnya dengan erat, seolah siap bangun kapan saja.
“Apakah aku bermimpi?” gumam Remiel pelan.
Ia mencubit tangannya sendiri. Rasa sakit itu nyata, tapi ia tetap tidak percaya.
“Hah…” Remiel tertawa kecil, suara tawanya mengandung kegetiran. “Ini tidak mungkin… Mereka peduli? Ha… pasti ada sesuatu. Mereka pasti di sini untuk menghukumku, atau memastikan aku tidak mempermalukan mereka lagi.”
Remiel menatap langit-langit kamar, hatinya penuh dengan campuran rasa kecewa dan kebingungan.
“Apa ini hanya karena aku tidak sadarkan diri? Kenapa sekarang mereka ada di sini? Ketika aku sakit atau terluka sebelumnya, mereka bahkan tidak peduli… Tapi sekarang…”
Tawanya terdengar pelan, namun penuh rasa getir. “Hah, alur hidup ini benar-benar tidak masuk akal.”
Remiel menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya.
Tapi perasaan hangat dari genggaman tangan ibunya yang masih erat, dan keberadaan ayahnya di sisinya, membuat pikirannya semakin tidak menentu.
“Apa ini hanya sementara?” bisiknya, sebelum akhirnya perlahan memejamkan mata lagi.
Vote vote vote sayang🌹🌹🌹🌹

KAMU SEDANG MEMBACA
Become the youngest prince [END]
Short StoryBagaimana jika seorang pemuda manis, yang meninggal karena ceroboh tidak melihat jalan saat menyeberang, tiba-tiba menemukan dirinya bertransmigrasi ke dunia novel favoritnya? Dunia itu berlatar era kerajaan yang megah, namun ia tidak beruntung kare...