Di balik kehidupan yang terlihat tenang, tersimpan kisah penuh rahasia dan pengkhianatan. Seorang pria telah memendam perasaan selama hampir dua dekade, menyaksikan dari jauh tanpa pernah ada yang tahu, terjebak di antara cinta dan rahasia kelam kel...
Jika ada typo atau penggunaan kata yang kurang tepat, tolong tandai dengan * di kolom komentar, terimakasi, dan selamat membaca.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Lusa ada agenda dengan klien, survei lahan untuk pembangunan Villa Ar. Kebetulan, Ivona juga KKN di sekitar sana," ujar Devan tanpa basa-basi, nada suaranya tenang tapi jelas.
Archie tidak langsung menanggapi. Hanya memberi anggukan kecil, diiringi senyum tipis yang tampak sekilas—menyimpan banyak arti. Dalam benaknya, sesuatu yang lebih menarik sudah tersusun rapi—sebuah skenario kecil, bukan sekadar pertemuan profesionalitas, melainkan momen yang akan ia ciptakan menjadi alasan untuk bertemu dengan sang pujaan.
"Jangan mulai, Ar," suara Devan terdengar lebih keras—penuh peringatan, sarat dengan kewaspadaan.
Melirik santai, Archie mengangkat alis dengan gaya ringan yang khas. "Mulai apa? Apa yang saya lakukan, Devan? Tidak ada, kan?" jawabnya, menyematkan nada polos yang jelas dibuat-buat.
Devan mendesis, tahu akan percuma saja berdebat dengan pria yang selalu punya jawaban di ujung lidahnya. "Gue tau, Ar—otak lo penuh siasat," gumamnya melepas napas panjang.
Archie terkekeh pelan, seolah komentar itu adalah pujian yang menyenangkan. Namun, beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah serius. Obsidiannya tajam, suaranya kembali ke nada formal. "Mana etika kamu, Devan? Ini masih jam kerja. Ngomong santai begini di kantor saya, tidak malu?" tanyanya retoris. Kali ini, ia sengaja menegaskan batas, mengingat mereka masih berada di salah satu ruangan megah pada perusahaan miliknya.
Perusahaan proyektor ini adalah hasil jerih payah Archie—dibangun dengan dukungan awal dari ayah dan kakeknya. Ia menolak berada di bawah kendali keluarga besar. Ambisinya sederhana tetapi berani: memiliki kekuasaan penuh atas apa yang ia bangun, tanpa harus tunduk pada siapa pun.
Meski awalnya dimulai dengan bantuan dana dari keluarganya, Archie perlahan melunasi semuanya. Perusahaan ini berkembang pesat berkat kerja keras dan kecakapannya dalam menjalin relasi bisnis selama hampir satu dekade. Di sela-sela itu, ia bahkan menyelesaikan program magister yang baru saja diraihnya, menambah daftar panjang prestasi yang ia ukir tanpa henti.
"Devan, saya ada-" belum selesai berbicara, seorang wanita berpakaian minim menyelonong masuk tanpa permisi, berani sekali wanita itu.
"Ar-"
"Kelihatannya, ada yang sudah berani melanggar perintah saya, benar kan, Clara?" sela Archie, membusungkan dada menatap tajam si wanita.
Tersenyum manis, Clara melangkah menghampiri Archie, wanita itu dengan berani menyentuh rahang Archie, "kamu sudah lama tidak mampir, aku merindukan mu Tuan Archie," ia mengecup pelan rahang tegas milik Archie, melupakan fakta bahwa masih ada orang lain di sana.
"Benarkah?" tanya Archie, pria itu menoleh, ia tersenyum, nyaris menyerupai seringaian jika di tilik dengan lamat.
Clara mengangguk cepat. "Tentu saja, aku benar-benar merindukan mu," jawab wanita itu, matanya terpejam saat merasakan elusan lembut dari tangan Archie mulai menggerayangi kulit di sekitar leher jenjangnya.