LOF 8

259 167 26
                                    


Archie tampak gelisah di tengah tempat tidur classic, king size milik nya, dengan rambut acak tak beraturan, lantaran berulang kali ia tarik kala senyum dan suara lembut seorang gadis terus berputar, menari indah di benak nya.

Ya tuhan, ini gila, ia benar-benar gila di karenakan sore tadi bertemu gadis pujaan yang selama ini hanya ia tatap dalam layar ponsel, atau melihat dari jarak jauh, tapi tadi? mereka bahkan berbicara, saling melempar senyum tipis.

"Maaf, saya lancang duduk disini."

"Tidak apa."

Percakapan sore tadi lagi-lagi berputar di benak pria itu.

Ia tersenyum layak joker, bibirnya, nyaris sobek, mulutnya terasa pegal sekali, lantaran tidak bisa menahan untuk tidak terus menerus tersenyum.

"Archie."

"Ivona."

"Nama yang indah, seperti-"

"Anjing," satu umpatan lolos dari sela bibir nya, ia tiba-tiba menutup mulut dengan telapak tangan. Perut Archie terasa diobrak-abrik sesuatu tak kasat mata, terasa bergejolak menggelitik rongga-nya.

Archie beranjak bangun, tergesa, merunduk di hadapan clossed, isi perutnya menyeruak keluar sampai tak tersisa.

Selang beberapa menit, pria itu bangun, menyeka mulut dengan selembar tisu, ia basuh wajah-nya yang serasa terbakar, menatap pantulan dirinya pada cermin, sembari ber monolog seorang diri.

"Ivona? saya bisa mati kalau begini terus."

"Kamu kenapa harus tersenyum."

"Seharusnya, kamu diam kan saja."

"Lihat! sekarang saya hampir mati Ivona."

"Saya tidak bisa tidur."

"Kepala saya sakit sekali."

"Saya baru saja memuntahkan isi perut saya."

"Padahal ada kopi yang saya minum saat bersama-mu tadi."

Sakit jiwa, dia berbicara dengan cermin? pria itu tampak amat sangat terguncang, hanya karena bertemu Ivona dalam jarak yang begitu dekat tidak bersekat, sang gadis pujaannya.

Padahal, dia sendiri yang sore tadi dengan semangat menyala begitu menggebu, berani menghampiri gadis itu, Ivona! tanpa dorongan dari orang lain seperti sebelumnya, tanpa pikir panjang, dan juga tanpa persiapan yang matang, untuk bertempur melawan rasa yang sedari dulu terpendam.

Archie melangkah lunglai kembali merebahkan tubuhnya di kasur.

Meraih benda pipih yang tengah menyala pada nakas, ada pesan dan juga panggilan tidak terjawab dari kedua orang tua nya di sana.

Archie mendesah pelan, tubuh nya lemah, ia tidak memiliki tenaga untuk merespon pesan kedua orang tuanya, yang mengatakan ada di depan rumah pribadi nya, ia memang tinggal terpisah dengan anggota keluarga.

Sayup-sayup terdengar suara bising dari luar, itu pasti orang tuanya.

Archie menarik selimut menutupi seluruh permukaan tubuh, menghangat-kan badan yang terasa dingin menggigil.

"Ar," panggilan teriakan itu begitu nyaring memekakkan gendang telinga yang mendengar, Diana Flora finnegan, Ibunda Archie.

Wanita paruh baya yang tidak terlihat elegan itu melangkah lebar dengan raut marah, tapi terlihat lucu.

"KAMU KEN-"

"Berisik Bun, Archie pusing."

Ibu dua anak itu mencabik, melirik sinis pada putra sulungnya, yang bergulung di balik selimut.

"Liat Mas, anak kamu," wanita itu mengadu pada sang suami, Arya finnegan- yang diam saja tidak bersuara sedari tadi, pria paruh baya itu hanya bersandar pada daun pintu bak pengamat.

"Buatnya bareng," saut Arya sembari berjalan mendekat, ingin melihat keadaan sang putra.

Pria itu meletakkan telapak tangan, memeriksa suhu tubuh Archie yang terasa panas, "sakit dia," beritahu nya pada sang istri.

"Hah? masa sih Mas, coba aku yang pegang," Diana maju menepis tangan suami nya.

"Lah, beneran panas, bisa sakit juga anaknya."

Diana menoleh pada Arya.
"Ambilin baskom sama handuk kecil Mas, obat penurun panas juga," suruh nya.

Wanita itu kini duduk di sebelah Archie, mengusap lembut dahi sang putra.
"Kenapa bisa sakit? sebelumnya kamu berantem kena tusuk sama kena pukul aja ga sampe kayak gini, ini kenapa bisa? emang kamu ngapain sih Ar, aduh anak ganteng bunda, kok bisa sih? mana panas banget lagi, kamu habis ngapain, coba-"

"Kepala Archie makin pusing Bunda," pria yang kini terbaring lemah itu merengek pada Diana, menarik tangan sang bunda agar ikut berbaring disampingnya.

"Ingat umur, manja banget, kalo Papa liat, bisa kena amuk kamu Ar," ujar Diana, ia terkekeh melihat tingkah laku sang anak yang mengcopy penuh sifat dari suami nya.

"Ga takut," gumam Archie, mata pria berumur duapuluh lima tahun itu terpejam menerima pelukan dan usapan lembut dari tangan sang Bunda.

Terimakasi, sudah membaca, serta memberikan vote!
Apakah membosan kan? Tidak menarik?

Labyrinth of fateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang