LOF 7

255 171 15
                                    

Ivona Anindita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ivona Anindita

Tepat di sebuah sudut café bernuansa klasik, tampak seorang gadis cantik dengan sorot teduh, tengah menyesap segelas cup kecil berisikan minuman cokelat bercampur pala.

Ivona, ia terpejam saat menikmati sensasi hangat yang perlahan menjalari tubuhnya—mengusir gigil yang menyelinap lembut ke balik kulit, di tengah dinginnya hari yang terasa lebih menusuk dari biasanya.

Tidak! Jika diingat, bahkan hampir satu bulan penuh, cuaca seperti ini.

Langit seolah tak mau kompromi. Suhu tak beraturan, angin yang meliuk tak tentu arah, semua akibat proses kondensasi pada atmosfer alam, yang kerap berubah layak hati manusia.

"Permisi," terkesiap, mata Ivona mengerjap pelan, menatap presensi lain tepat di hadapannya. Ia tidak menyadari sama sekali.

Sejak kapan ada yang duduk di situ?

"Hey!" teguran lembut disertai lambaian tangan di hadapan wajah. Ivona mendapati dirinya sedikit linglung—terlalu asyik tenggelam dalam sunyi dan cokelat hangatnya.

"Ya?"

"Maaf, saya lancang duduk di sini."

Ivona mengangguk pelan dengan senyum tipis, lalu menjawab. "Tidak apa." Dirinya tidak tahu harus merespon apa.

Lagipula, sangat tidak mungkin, bukan? Jika ia mengatakan. "Tidak boleh?" atau memberi kata pengusiran lainnya. Itu tidak sopan!

Apalagi, kala netranya yang teduh menyoroti setiap sudut café. Hanya di sini yang masih belum terisi penuh—tempat ini seperti menyisakan ruang untuk takdir bertemu.

Ivona menoleh menatap tangan yang tersodor di hadapannya. Pandangannya bergantian menatap wajah itu dengan alis terangkat, seolah bertanya.

✿⁠ ✿⁠ ✿⁠

This part might come across as a little rough, but in a gentle way.

Dalam sebuah rumah kawasan perumahan elit, seorangwanita, tengah berkutat dengan rangkaian peralatan dapur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam sebuah rumah kawasan perumahan elit, seorang
wanita, tengah berkutat dengan rangkaian peralatan dapur. Jemarinya bergerak di atas talenan kayu, sibuk dengan bahan masakan yang tak pernah selesai. Namun, pikirannya melayang jauh, melintasi dinding-dinding rumah yang sunyi.

"Gimana keadaan dia?" Suara itu datang dari belakang, dingin, membakar tengkuknya seperti belati yang menusuk tanpa permisi. Ia mengerut, kaku, saat jari kasar pria itu melintasi lengannya, memicu merinding yang tak ia inginkan.

"Keadaan siapa?" Suaranya bergetar, meski ia berusaha menyembunyikan keresahan yang kini berdenyut di dadanya. Namun pria itu hanya tertawa kecil, mengejek, mencemooh kebodohan yang dianggapnya nyata.

"Ga usah belagak tolol. Jawab aja," gumamnya, seraya tangannya mencubit pipi wanita itu-keras, meski terkesan main-main.

Wanita itu menghela napas panjang. "Kasar banget sih. Aku cuma nanya-"

Protesan yang ingin dilayangkan terputus. Bibirnya dibungkam. Bukan oleh rasa sayang, melainkan oleh keserakahan yang menyakitkan. Ciuman yang tak ia inginkan menyerbu, menghancurkan batas-batas tubuh dan hatinya.

"Gue nyuruh apa?" Pria itu menatapnya tajam, sementara bibir si wanita bergetar.

"Aku... aku nggak tahu, Gar. Aku nggak tau gimana dia. Coba kamu tanyain sama Kar-"

Kali ini, ia kembali dibungkam. Bahkan lebih kasar dari sebelumnya. Tangan pria itu tak lagi sopan, menjelajahi tubuhnya tanpa izin. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak, dan dunia di sekitarnya mulai berputar.

Saat semuanya berakhir, pria itu menggigit bibirnya, meninggalkan rasa perih dan bercak merah yang mewarnai luka barunya. Wanita itu terhuyung, meraih udara dengan rakus, bibirnya bengkak dan pucat, seperti bunga layu yang terinjak.

"Nurut, ya. Gue tanya, lo jawab. Jangan banyak bacot. Kalau gak mau, gue tidurin lagi," katanya dengan senyum sinis, seolah-olah semuanya hanyalah permainan.

Mengangguk cepat, air matanya mengalir, tapi ia tak berani melawan. Tepukan di kepalanya terasa seperti ejekan terakhir sebelum pria itu pergi, melangkah ringan, sambil bersiul riang seolah kemenangan sudah di genggamnya.

Tertinggal di dapur, wanita itu ambruk di sudut kulkas. Tubuhnya menggigil hebat, seperti ranting yang patah diterpa badai. Tangannya meremas apron lusuh yang dikenakannya, sementara isakannya teredam dalam keheningan rumah megah itu. Ia adalah burung dalam sangkar emas, terpenjara, terkekang, tanpa tahu kapan ia akan bebas.

Namun, di balik matanya yang sembab, ada sekilas kilatan-kecil, tapi nyata. Bukan ketakutan, pun kepasrahan. Tapi sebuah nyala yang mungkin, suatu hari nanti, akan membakar seluruh kepedihan ini hingga abu.

Terimakasi untuk para pembaca dan terlebih untuk yang memberi vote!

Labyrinth of fateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang