Katya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP.
Gadis manis yang mungil itu kehilangan kepercayaan diri dan teman-temannya karena harus terus menerus menghindari ruang ganti PE dan kel...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 2
Pak Tristan, Jangan!
Aku nggak pura-pura.
Aku sesak napas betulan sekarang. Apa-apaan itu? Masa seorang guru pria menyuruh siswa perempuan ganti baju di depannya? Badanku langsung gemetaran. Ya aku tahu dia tampan dan menggiurkan, tapi tetap saja dia laki-laki. Aku menggeleng-geleng, menolak menuruti perintah Pak Tristan yang serius sambil mencengkeram erat kancing-kancing kemejaku. Seragam olah raga yang berupa kaus dan celana pendek itu terpuruk di depan kakiku. Semakin aku mundur, semakin Pak Tristan maju menghampiriku. Saat ujung kakinya mengenai seragam di lantai, dia menyepaknya ke arahku. “Ayo!” suruhnya.
“T—tapi….”
“I did my research,” katanya. Pak Tristan memang bicaranya suka dicampur-campur. Dia pernah kena tegur guru Bahasa Indonesia waktu itu, jadi dengan susah payah saat pelajaran dia menahan diri. Tapi kalau berdialog dengan siswa-siswi kadang dia keceplosan. Menurutku itu seksi, sampai detik ini. Aku merasa terancam. Kok dia menatapku begitu tajam, sih? Aku merasa saat ini tubuhku sedang ditelanjangi oleh tatapannya. Dia menyambung, “Kata Pak Ardan, dia pernah mencoba memaksamu ikut praktik saat masih kelas sepuluh dan kamu mencoba melarikan diri lewat jendela kamar kecil. Kamu terjatuh dan terluka. Pak Ardan disalahkan oleh semua guru karena hampir mencelakai siswa. Makanya dia nggak pernah memaksamu lagi.”
Oh iya… itu benar.
Aku setuju berdamai dengan pihak sekolah dan tidak mengadukannya pada pamanku asal mereka percaya bahwa kondisi kesehatanku nggak memungkinkan untuk praktik PE. Saat pamanku bertanya, kubilang aku jatuh saat sprinting.
“Tapi, Pak… saya kan siswa perempuan…, apa menurut Bapak itu pantas?” tanyaku, terbata-bata.
Pak Tristan mengerutkan alisnya. “Okay…,” katanya. “Bapak akan berbalik.”
Haaah?
Jadi dia tetap nggak akan menyuruhku ganti pakaian di kamar kecil? Aku mau nangis. Ya sudahlah. Toh dia nggak akan melihatku kalau dia berbalik seperti itu. Aku melucuti pakaianku sendiri dan menggantinya dengan kaus dan celana pendek. Meski muat dan payudaraku masih terbebat kencang, tetap saja kaus itu terasa sempit di bagian dada. Celana yang disiapkannya juga sangat ketat di bokongku. Pahaku terpapar, tapi aku nggak terlalu merisaukannya karena kaki-kakiku tidak masalah. Kakiku seramping badanku. Sepertinya seluruh berat badanku terpusat di susuku. Saking besarnya, kadang kalau aku lupa bahwa aku harus menjaga postur tubuhku, jalanku sampai membungkuk.
Aku berdeham untuk memberi tanda pada Pak Tristan bahwa aku sudah selesai.
Pak Tristan menyuruhku menyisihkan seragam yang kutanggalkan dan tasku ke bangku, lalu dia menyuruhku bergabung dengannya di tengah lapangan. Dia terus memandangi gerak-gerikku, membuatku kikuk. Dengan kaus seketat ini, aku takut dia menyadari besarnya payudaraku yang tergencet di baliknya. Jantungku sejak tadi berdegup kencang. Kalau begini aku benar-benar bisa sesak napas betulan!