Di balik kehidupan yang terlihat tenang, tersimpan kisah penuh rahasia dan pengkhianatan. Seorang pria telah memendam perasaan selama hampir dua dekade, menyaksikan dari jauh tanpa pernah ada yang tahu, terjebak di antara cinta dan rahasia kelam kel...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sambungan telepone terputus, meninggalkan jeda panjang yang menggema di benak Ivona. Netranya menatap lantai kamar, sementara jemari yang sebelumnya menggenggam erat ponsel kini melemah. Dunia terasa menyempit, seolah tembok-temboknya perlahan mendekat. Kemana lagi harus ia mencari? SPP menunggak, KKN di depan mata, dan waktu terus mengejarnya seperti angin yang tak henti berembus.
Kalimat dari seberang telepone tadi masih terngiang: "Kamu sih, nggak mau nikah aja sama Mas-ku." Sebuah candaan yang sudah terlalu sering ia dengar. Ivona menarik napas panjang, mencoba menepis bayangan absurd itu. Ia tahu Kinnara—gadis remaja yang sudah ia anggap adiknya itu, hanya bergurau, tetapi nada suara Kinnara tetap terasa layak sindiran pahit. Bagaimana mungkin ia menjadikan pernikahan sebagai pelarian, ketika langkahnya sendiri masih goyah?
Dengan pelan, Ivona bangkit dari kasur. Rambut yang sedikit berantakan ia rapikan sebelum melangkah menuju kamar ibunya. Ketukan lembut di pintu disambut suara lirih dari dalam yang mempersilakan masuk.
"Ibu mau makan apa? Biar Vona masak dulu," tanyanya sambil mendekat. Pandangannya jatuh pada wajah Lidia yang tampak lelah, meski sudah beberapa hari kembali dari rumah sakit.
"Enggak usah dulu, Ibu belum laper," jawab Lidia singkat.
Ivona tersenyum kecil, menyembunyikan kegelisahan yang menggulung dalam diri. Tangannya terulur, mengusap lembut kerutan di dahi sang ibu, seolah berusaha memindahkan sedikit beban itu ke dalam dirinya. Namun, tatapan Lidia terlalu tajam untuk dihindari.
"Kamu nggak kuliah? Ini udah siang," tanya Lidia, lembut namun sarat kekhawatiran.
Ivona menelan ludah, mencoba mengusir kegamangan yang menggumpal layak batu di tenggorokannya. "Enggak, Bu. Vona lagi selesain naskah dulu. Minggu depan deadline. Semoga aja buku ini laku, jadi Vona bisa lunasin SPP buat KKN nanti."
Ia memilih berkata jujur separuh. Tidak semua hal perlu diketahui Lidia. Tidak semua luka harus terlihat. Biarlah ia yang menanggungnya. Masalah-masalah lain cukup ia simpan dalam hati, terkunci rapat.
Semua ini bermula dari keteledoran, pikirnya. Uang semester yang ia simpan hati-hati raib di tangan pencopet. Berkali-kali menyalahkan diri sendiri, tetapi penyesalan itu tetap saja bak embun pagi—tak kunjung kering.
"Ibu belum gajian. Gaji terakhir aku juga ga cukup. Tapi nggak apa-apa, Bu. Vona pasti bisa cari jalan," lanjutnya, mencoba meyakinkan lebih kepada diri sendiri daripada sang ibu.
Menghela napas panjang, Lidia menatap putrinya dalam-dalam. Namun, sebelum sempat berkata lebih, Ivona berdiri tersenyum kecil. "Aku keluar dulu ya, Bu. Kalau butuh apa-apa, panggil aja."
Wanita paruh baya itu menatap punggung Ivona yang perlahan menjauh, sebelum tiba-tiba mengingat sesuatu. "Dara ke mana? Ibu belum lihat dia mampir. Udah seminggu nggak ada kabar."
Sontak tubuh Ivona membeku sesaat. Selain mantan kekasih, ternyata ia juga memiliki mantan teman. Dara. Nama itu layak racun yang perlahan menyebar. Teman yang menjadi alasan Ivona putus sekaligus penyebab ia kehilangan pekerjaan. Membahas Dara saja sudah cukup untuk memunculkan mual di perutnya.
"Gak tahu, Bu. Mungkin sibuk," jawabnya singkat, memilih untuk berbohong.
"Em, Bu. Ibu tahu siapa yang nambrak Ibu?" Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Lidia menggeleng. "Enggak, Ibu nggak kenal. Seingat Ibu, orangnya udah tua. Kakek-kakek gitu. Waktu itu dia udah minta maaf, terus ngurus semua biaya rumah sakit."
"Oh," Ivona hanya menanggapi singkat. Tidak ada yang perlu dipikirkan lebih jauh. Luka Lidia pun hanya luka ringan, dan biaya rumah sakit sudah selesai diurus.
Setelah memastikan Lidia tidak membutuhkan apa-apa, Ivona menutup pintu kamar. Tepat di baliknya, ia bersandar, membiarkan satu tarikan napas panjang meluncur dari bibirnya. Langit hidupnya memang terasa gelap, tapi ia tahu, ia harus terus berjalan. Jika bukan untuk dirinya sendiri, maka untuk ibunya.
✿ ✿ ✿
Sepasang sejoli tengah berbaring di balik kain tipis menutupi sebagian tubuh mereka usai kegiatan panas beberapa saat lalu.
Dengan lengan pria sebagai bantalan kepala wanita, nafas keduanya masi memburu tak beraturan, keringat membanjiri mereka.
"Lo capek?" tanya si pria, sembari menyeka bulir keringat pada pelipis kekasih-nya.
"Kok ga di jawab, hm?" ia gerakkan telunjuk nya pada dagu sang kekasih, menarik pelan guna wajah ayu itu menatap penuh ke arahnya, "Sayang!" panggil pria itu lagi, tepisan pelan pada tangan ia dapat.
Wanita itu menepis nya, agar telunjuk sang pria terlepas dari wajah.
"Kamu kok manggilnya masih lo-gue, padahal kita udah pacaran loh?" kekehan merdu sang pria terdengar, begitu mengetahui wanita dalam pelukannya ini rupanya tengah merajuk perkara panggilan yang iya gunakan bertanya tadi, ia rasa tidak ada yang salah dengan sebutan itu.
"Kenapa malah ketawa? ga ada yang lucu," dengan bibir sedikit bengkak mengerucut, wanita itu membalikkan badan memunggungi kekasih yang menurutnya sungguh menyebalkan.
Ahh ingin sekali menerkam wanita ini lagi, agar menjerit tertahan di bawah kukungan nya, sang pria justru malah berpikir liar ckckck.