Di balik kehidupan yang terlihat tenang, tersimpan kisah penuh rahasia dan pengkhianatan. Seorang pria telah memendam perasaan selama hampir dua dekade, menyaksikan dari jauh tanpa pernah ada yang tahu, terjebak di antara cinta dan rahasia kelam kel...
"Ada pelajaran di balik setiap kisah hidup kita masing-masing, entah itu suka maupun duka, tetapi! jika membahas soal kehidupan yang tenang, tentu saja itu adalah dambaan setiap jiwa. Ragam peristiwa yang hampir. Pasti memiliki makna baik terselip di dalamnya. Jadi! mampukan diri kita menjalani melewatinya dengan baik pula."
Ivona's quote.
"Heads up! Just a quick note—I've adjusted this part, so it's not using any vulgar language anymore. Aku pribadi merasa sedikit kurang nyaman, dengan perbaikan kecil, maybe bisa lebih terasa nyaman untukku maupun kalian para pembaca!"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di bawah derasnya hujan, seorang gadis berdiri tenang di sisi jalan. Tatapannya lurus ke depan, namun ekspresinya terlalu datar untuk terbaca. Tubuhnya terbalut dingin, tapi tak ada sedikit pun rasa resah tergambar di wajahnya. Ia terlihat selayak pengamat biasa, meski pemandangan yang ia saksikan jauh dari kata wajar.
Bayangan samar dua sosok terlihat di bawah teduhan pohon. Mereka terlalu dekat, terlalu intim, dan terlalu jelas untuk disalahartikan. Hujan menjadi tirai yang tak cukup tebal untuk menutupi apa yang sedang mereka lakukan. Gerakan-gerakan itu liar, penuh hasrat, tanpa peduli dunia di sekitar.
Bukan pertama kalinya ia saksikan pengkhianatan semacam ini. Pria itu, sosok yang pernah menyebut dirinya, "milikku," dan wanita itu, seseorang yang seharusnya mengerti apa arti sahabat. Sudah lama ia tahu, lebih lama dari yang mereka kira. Namun, memilih diam, membiarkan mereka tenggelam dalam permainan mereka sendiri.
"Udah sejauh ini ya!" Gumamnya dalam hati. Bukan dengan nada sinis atau kesal, hanya sebuah pengakuan dari hati yang sudah terlalu sering dikhianati. Bukan bodoh, bukan juga lemah, tetapi membiarkan waktu berbicara lebih banyak daripada lisannya sendiri.
Langit bergemuruh, gadis itu tetap tak bergeming. Baginya, ini hanyalah sebuah bab lain dalam cerita yang ia biarkan mengalir. Ia menatap mereka untuk terakhir kalinya, lalu perlahan melangkah pergi, tanpa meninggalkan jejak amarah atau tangisan. Seolah dirinya hanyalah pejalan kaki yang lewat, bukan hati yang pernah mereka patahkan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gadis muda berusia duapuluh tahunan itu tengah menggerutu meratapi kemalangan hari ulang tahun nya, segala suatu hal yang sempat terangan dibenaknya sirna begitu saja, sang pencipta memang tak pernah tanggung dalam memberi kejutan.
Akan tetapi, tak ada waktu untuk sekedar beristirahat, selama jiwa raga masih menapak di bumi, dia hanya harus memampukan setiap langkah kehidupan, lagi pula! yang dia alami bukan apa-apa jika di bandingkan dengan orang lain di luaran sana.
Setiap manusia, ada masalah ujian tersendiri, bukan dia saja yang memiliki masa sulit, namun, bersembunyi di balik seulas senyuman, adalah cara mereka bertahan, jadi! semua ini wajar, ia hanya perlu mengupayakan yang terbaik.
Langkah gadis itu terasa berat saat meninggalkan bayangan di bawah pohon. Hujan yang tadi menjadi saksi pengkhianatan kini mulai mereda, menyisakan udara dingin dan aroma tanah basah yang menusuk. Sekilas mengusap wajah, entah karena sisa air hujan atau sesuatu yang lain yang perlahan menggenang di sudut matanya. Langit sore ini kelabu, sama seperti pikirannya, tapi ia tak ingin larut—ada hal lebih penting menunggu.
Helaan napas terdengar, disertai gumaman kecil yang terlontar tanpa sadar. "Tuhan, kalau mau ngasi kejutan, jangan di spam gini."
Menatap ke depan, ia biarkan langkahnya melanjutkan jalan yang terasa sudah ditentukan. Gadis bermata teduh—yang menyimpan banyak cerita itu—adalah Ivona Anindita.
Dia hidup dengan kesederhanaan. Tidak berkecukupan, hanya saja ia tahu caranya bersyukur dengan segala suatu hal di kehidupannya. Tinggal di rumah minimalis sederhana berdua dengan sang Ibu Lidia Anindita, tanpa figuran seorang Ayah.
Jangan tanyakan soal Ayah. Baginya nama itu hanya sebuah ruang kosong yang tidak pernah ia isi, dan mungkin tak akan pernah.
Mata Ivona bergulir melirik jam pada benda pipih di genggaman tangan, berniat memastikan sudah berapa lama ia menikmati kemalangan hari ini, sampai-sampai lupa, didalam gedung sebrang jalan sana ada sang Ibu yang tengah menunggu.
"Sial!" Makian keluar begitu saja, kendati ia tidak suka berbicara kasar ataupun mendengar lontaran kata itu dari orang lain, tak berlaku untuk sekarang, kata itu seolah obat yang bisa mengurangi beban tak kasat mata pada pundak mungilnya.
Ivona memaksakan langkah beratnya membawa bobot tubuh dengan tampilan kuyu, celana putih yang ia kenakan sudah tercetak seni coklat dimana mana, juga kemeja yang lumayan kusut dan terdapat sobekan kecil pada bagian bahu, lengkap dengan rambut berantakan.
Memasuki gedung bernuansa putih dengan aroma pekat anyir darah dari setiap orang yang terluka, tempat dimana setiap orang mencari pengobatan.
Finnegan Hospital, tempat ibunya di rawat pagi tadi usai mengalami kecelakaan, Ivona tidak tahu kronologinya, hanya sepintas pesan singkat dari tetangga mengatakan bahwa Ibunya di larikan ke rumah sakit oleh pria tua yang tak sengaja menabrak sang Ibu.
"Ivona!" Panggilan diiringi sapuan lembut di kepala, menyadarkan gadis itu.
Tarikan kedua sudut bibir ia perlihatkan pada wanita paruh baya cantik dengan balutan stelan khas pasien rumah sakit, disertai perban pada siku dan juga kepala.
Decitan kursi terdengar, Ivona lebih mendekat agar Lidia tidak kesusahan mengulurkan tangan.
"Iya."
"Kenapa Ibu?"
"Ibu mau apa? biar Vona ambil."
Gelengan kepala, Ivona dapat. Sebelum balasan. "Kebalik Na, harusnya Ibu yang nanya!" Lidia menambahkan. "Ivona habis dari mana? rambutnya kenapa gini, terus baju kamu juga," gadis itu tersenyum, mendengar kalimat beruntun ibunya.
Ia juga bisa melihat jelas jika sedari tadi tersirat kekhawatiran yang nyata, pada kedua netra milik Lidia, ia raih tangan sang Ibu lalu di bubuhkan kecupan pelan.
"Habis dari luar Bu."
Ada tanya yang tidak diberi jawaban, Ivona tidak ingin mengatakan hal lain, Ibunya juga pasti akan mengerti, mereka berdua saling memahami.
🥂
Terimakasi sudah meluangkan waktu membaca, coment, serta memberikan vote!