35

48.8K 1.1K 68
                                    

"dek cepat sarapan, hari ini papa ada meeting"

"Bekal aja ya dek, kamu buat sendiri. Mama mau arisan"

"Cepat dek"

Untuk kesekian kalinya Aneska menghela nafasnya, matanya terasa panas dan berat. Semalaman hatinya sangat gusar dan tidak bisa tidur. Ia baru bisa tertidur di jam 4 pagi, itupun setelah berusaha menghitung 100 domba.

Pagi ini dia sudah siap dengan seragam sekolahnya, berdiri didepan kulkas sambil menatap kosong pada isi kulkas.

Ia menutup kembali pintu kulkas tanpa mengambil apapun dan berjalan pada pintu utama.

"Adek udah sarapan?"

Aneska mengangguk pelan pada pertanyaan papanya.

"Ayok buru, nanti papa terlambat"

Aneska berjalan menuju mobil papanya, sebelum masuk pada jok depan ia menatap kesamping. Melihat mobil sedan berwarna putih mengkilat tepat disebelah mobil papanya parkir.

"Itu hadiah dari Pak Torrez" Ucap Dewa terdengar bahagia, papa Aneska.

Tidak ada respon apapun dari Aneska.

"Masuk adek"

Aneska mengedipkan matanya lalu menatap keatas, menahan air yang ingin turun dari pelupuk matanya.

Ia masuk pada jok depan mobil papanya.

"Nanti adek pulang sendiri papa ada meeting..."

Aneska sama sekali tidak fokus dengan ucapan papanya, ia menatap padatnya jalanan kota. Hari ini adalah hari Sabtu dan tepat hari ini adalah hari terakhir ia menjadi siswi kelas 10. Hari dimana ia akan menerima rapor miliknya.

Tidak ada yang spesial hari ini.

Bila boleh jujur, Aneska merasa sakit didadanya. Kemarin setelah mematikan panggilan video dengan Gavin, ia langsung menonaktifkan gadget nya.

Ia telah selesai dengan Gavin, tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Kemarin adalah closure.

Tapi Aneska tidak akan menerima tawaran dari Torrez. Apapun tawaran itu kecuali pindah, Aneska akan pindah.

Aneska tidak tergiur dengan penawaran Torrez karna sesungguhnya apapun yang Aneska inginkan akan diberikan oleh papa dan mamanya. Hanya waktu saja yang sulit mereka berikan pada Aneska sehingga membuat dirinya menjadi kesepian.

Kehadiran Gavin merupakan satu-satunya kebahagiaan Aneska, Pria dingin, tampan, tinggi dan otoriter itu datang mewarnai kehidupan Aneska.

Aneska memiliki mantan tapi tidak semenyenangkan Gavin, meskipun kaku tapi Gavin selalu ada. Selalu meluangkan waktu dan itu yang Aneska cari. Ia tidak suka kesepian.

Untuk kesekian kalinya Aneska menghela nafas.

"Adek?"

"Ha? Apa pa?" Aneska langsung menoleh cepat pada papanya.

"Kamu kenapa melamun?"

"A-anu adek sedih karena sebentar lagi akan libur jadi adek sendiri " Ucapnya berbohong.

"Oh haha kamu kan masih punya kakak, nanti kakak pasti pulang jadi kamu gak akan sendiri"

Deg

"K-kakak?"

"Hm, Mungkin seminggu lagi kakak pulang. Kamu happy kan?"

"A-ahaha iya adek happy pa"

"Bagus lah"

Aneska langsung melunturkan senyumnya.

Kakaknya?

Pulang?

Aneska ingin kembali menangis, Jujur ia belum siap. Jika kakaknya pulang sudah dapat di pastikan ia akan tersingkirkan.

Kakaknya yang merupakan kebanggaan akan selalu disanjung oleh papa mamanya.

Aneska tidak tau harus seperti apa. Ia sudah ingin sekali berbicara pada Gavin dan menumpahkan segala keluh kesahnya.

Bercerita tidak habis sampai ia kehausan karna terus saja berbicara. Dan selama itu Gavin tidak akan melepaskan pandangannya dari Aneska.

Terkadang Aneska bahkan lupa ingin mengucapkan apa karena Gavin terus saja memandangnya. Membuat Aneska menjadi salah tingkah.

Ah

lagi-lagi ia lupa, mereka sudah berakhir.

Aneska melepaskan sabuknya dan turun dari mobil dan berjalan disamping papanya. Mereka langsung saja menuju kelas Aneska.

Jujur jantung Aneska mulai berdetak kencang, apakah ia akan bertemu Gavin?

"Adek kok tegang gitu mukanya?"

Aneska langsung melebarkan senyumnya "engga kok pa, Adek haus aja"

"Nanti beli minum adek"

Aneska mengangguk.

Memasuki ruangan kelas yang sudah ramai dipenuhi oleh murid dan wali mereka masing-masing, Menunggu untuk dipanggil oleh wali kelas agar maju ke depan dan mengambil rapor dari wali kelas.

Aneska duduk di bangku tengah bersama papanya, ia mengedarkan pandangan keseluruhan kelas.

Tidak ada, Gavin tidak didalam kelas. Hatinya semaki gusar, sebenarnya Aneska ingin melihat Gavin namun hanya sebatas melihat.

"Nes"

Aneska menoleh kesamping, ia mendapati Kiara sedang memanggilnya dengan suara pelan.

"Sebentar ya pa" Ucap Aneska pada papanya yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Aneska berjalan pindah kesamping Kiara, teman sekelasnya.

"Ciee yang peringkat lima"

Aneska membalas dengan senyumnya.

"Btw mana Gavin?"

Ia menatap keseluruhan kelas kemudian kembali menatap Kiara dan menaikan bahunya perta tidak tau.

"Loh? biasanya lengket"

Aneska tersenyum kecil pada Kiara, sama sekali ia tidak menjawab setiap ucapan Kiara.

"Nes, itu Nes Gavin"

Mendengar nama Gavin entah mengapa Aneska langsung menoleh kelapanya.

Terlihat dari kaca jendela, Gavin berdiri sambil memegang rapor dan disampingnya... seorang kakek yang sangat Aneska kenal.

"Eh itu kakeknya ya?"

Yap itu Torrez, seorang tua bangka yang mengancam Aneska untuk meninggalkan Gavin.

"Kok mereka kaya marahan ya Nes? kaya tegang gitu mukanya"

Ya, Aneska setuju. Keduanya memang saling mengadu mata, menatap tajam satu-sama lain. Aneska paham dari mana Gavin mendapatkan alis menukik tajam itu, dari kakeknya-Torrez.

"loh? malah pelukan"

Aneska juga mengerutkan keningnya, Kedua pria itu saling berpelukan. Apa ini? kenapa semua berubah dengan cepat?

Apa jangan-jangan Gavin senang sudah tidak memiliki hubungan apapun dengan Aneska?

Apa Torrez sudah mengungkapkan segalanya pada Gavin? Tapi Aneska sama sekali tidak menerima tawaran Torrez. Lalu mengapa?

Terpancar senyum yang lebar dari Torrez, ia menepuk-nepuk bahu Gavin. Seakan bangga dengan Gavin. Ia juga tertawa kecil melihat Gavin.

"Adek?"

Aneska menoleh cepat pada papanya.

"Ayo udah di panggil"

Aneska langsung mengangguk menatap papanya, ia tersenyum pada Kiara dan menatap kearah jendela.

Deg, Aneska membelalakkan matanya.

Kedua manik mata mereka bertemu, Gavin berdiri sendiri sambil menatap tajam kearahnya. Aneska yakin pria itu menatap dirinya.

Buru-buru Aneska menghindari padangan Gavin dan berjalan kedepan bersama papanya.

Semoga saja tatapan itu tidak mengarah pada Aneska. Jantungnya kini berpacu dua kali lipat.

GAVIN 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang