34

52.6K 1.3K 117
                                    

Today is my birthday guys, hihihi.

Kepala dua udah kerasa beratnya niee hahaha.

___________

"Hai"

Aneska duduk di kursi belajarnya, ia menatap panggilan video yang tersambung di iPad pink-nya. Saat ini ia sudah berganti pakaian menjadi crop top hitam dengan celana pendek putih.

Matanya sedikit sembab, entahlah ia sendiri bingung. Mengapa juga ia harus menangis hanya karena diminta untuk menjauhi seorang pria yang tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan untuk menjadi seorang teman saja, ia selalu ditolak.

"Dari mana? Kenapa baru angkat telepon gua?"

Aneska tersenyum kecil, ia mengusap hidungnya gatal akibat menangis. Ia menatap Gavin yang sedang shirtless sambil berbaring diatas tempat tidur.

"itu tadi- em teman arisan mama datang jadi gue harus bantu-bantu mama" Ucapnya berbohong.

"Arisan?" Gavin menaikan sebelah alisnya.

Aneska tersenyum lebar lalu mengangguk "Iya, rame tapi mereka udah pulang dan gue sendiri disini"

Untuk yang bagian akhir, Aneska tidak berbohong. Mama dan Papanya pergi dengan Torrez Wijaya. Torrez yang mengajak mereka dan tanpa ba-bi-bu langsung diterima oleh Dewa-papa Aneska.

Aneska tidak berucap apapun pada kedua orangtuanya karena Torrez melarang dirinya dan pada akhirnya Torrez berbohong bahwa ia beralibi pernah bertemu Aneska hanya itu saja. Sempat timbul raut tidak percaya di wajah kedua orang tua Aneska namun Aneska dengan cepat membenarkan hal itu.

Perlahan senyum Aneska memudar, ia menatap Gavin. Pria itu tidak berucap apapun, hanya diam dan menatap Aneska. Aneska sendiri tidak terganggu karena ia sudah terbiasa.

Teringat akan ucapan Torrez, sungguh ia tidak tau mengapa sangat berat untuk memenuhi permintaan pria tua itu.

Hampir setengah tahun mereka bersama dan hampir setiap hari mereka melakukan kontak, baik itu secara langsung maupun tidak. Aneska bahkan lebih dekat dengan Gavin dibandingkan sahabat nya, Anna.

Setiap hari sepulang sekolah Gavin pasti melakukan panggilan pada Aneska, ia tidak akan banyak berbicara seperti biasanya. Ia hanya mendengar atau menatap Aneska dari ponselnya. Hal-hal seperti itu sudah menjadi rutinitas Gavin.

Aneska sendiri selalu menerima panggilan itu, ia tidak marah atau sebal pada Gavin yang hanya diam saja meskipun pria itu yang memulai panggilan.

Ia akan tersenyum kemudian mengangkat panggilan itu lalu berucap "Hai Gavin" Kemudian melakukan aktivitas seperti mengerjakan tugas sekolah, membersihkan kamarnya, bernyanyi atau mengomel ketika jepitan rambutnya menghilangkan.

Aneska bahkan suka bertanya pada Gavin ketika barangnya menghilang dan Gavin akan berucap "besok gua beli" setelah itu "Janji ya" ucap Aneska. Ya, Selalu seperti itu entah Aneska sengaja ataupun tidak sengaja ia menghilangkan barangnya.

Ia tau Gavin pasti akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban seperti itu. Karena mana mungkin Gavin mengetahui dimana hilang gantungan kuncinya, pulpen warna-warninya, atau barang-barang lucu milik Aneska yang lainnya.

Aneska menyukai interaksi kecil mereka, meskipun hanya saling menatap sambil diam lewat panggil video ketika Aneska akan tidur dimalam hari.

Dan sekarang, Aneska harus kehilangan semuanya?

"Lo kenapa?"

"H-ha?" Aneska mengusap air matanya buru-buru. Ia tidak sadar sedari tadi ia sudah melamun bahkan tanpa permisi air matanya jatuh.

"Ha-ha-ha duh kelilipan hahaha ya haha"

Gavin hanya diam, tidak berekspresi sama sekali dan Aneska mensyukuri hal itu.

"Gavin?"

"Hm?"

Aneska diam, ia meremas kuat tangannya. Lidahnya terasa kelu dan matanya seakan bergetar hanya untuk melanjutkan ucapannya. Ia mengigit bibirnya dan menahan nafasnya, baiklah ia pasti bisa.

"Kita ini apa?"

Akhirnya, dengan sekali hembusan tiga kata itu keluar. Meski hanya tiga kata namun sangat berat untuk diucapkan. Aneska terlalu takut untuk jawaban pria itu. Ia tidak berekspektasi apapun.

Jantungnya berdegup kencang, menanti-nanti jawaban apa yang akan diberi Gavin. Ia Semakin meremas genggaman tangannya. Mengapa Gavin hanya diam?

Gavin tidak berekspresi sama sekali, hanya diam menatap Aneska.

"Gavin?"

"Memang kita apa?"

Aneska mengerutkan keningnya mendengar ucapan Gavin. Maksudnya?

"O-oh haha mungkin memang hanya gue yang terlalu berharap"

klik

Aneka langsung mematikan sambungan video call mereka, Ia mengangkat kakinya keatas kursi dan memeluknya.

Akhirnya tangisnya pecah, tangis yang sedari tadi ia tahan sejak melakukan video call.

Gavin?

Aneska tersenyum miris, ia menelungkup kepalanya pada lututnya. Sebagai teman saja Gavin selalu menolak apalagi untuk sesuatu yang serius. Dirinya ternyata berekspektasi tinggi untuk Gavin.

Mungkin ini adalah jawaban untuk permintaan pria tua itu, mungkin ini adalah closure.

tbc

GUYS PLEASE INI BELUM TENTU SAD ENDING, AKU SEBAGAI PENULISNYA BELUM TENTUIN ENDINGNYA T_T

btw feel-nya dapat ga ya? aku gak tau harus nulis apa lagi T_T

GAVIN 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang