Sepasang mata Cesilya melebar sambil menatap isi gulungan kertas. Benar kata Aliyah, isinya memang nama dirinya yang ditulis dengan huruf kapital! Bahkan namanya itu ia tulis tangan sendiri. Idenya Cesilya juga yang meminta keenam teman yang lain untuk menuliskan sendiri nama-nama mereka pada gulungan kertas.
"Oke, Teman-Teman. Karena aku yang dapat giliran pertama, mulai besok aku siap memulai cerita horor di antara kita, ya!" kata Cesilya tiba-tiba bersemangat.
Cesilya memang dikenal cepat menguasai situasi. Awalnya mungkin dia agak terkejut, tapi sebagai seseorang yang sudah menyetujui kesepakatan di antara mereka bertujuh, dia jelas tidak boleh lari dari tanggung jawab meskipun merasa sedikit gugup. Gimana kalau ceritaku kurang seru? batin Cesilya.
Sementara kelima teman yang lain (minus Raras yang tidak peduli memperoleh urutan nomor berapa pun) menghela napas lega. Dalam hati kecil mereka, mereka sangat bersyukur karena tidak berada di urutan pertama.
"Ok, let's go!" Aliyah mengacungkan tinjunya ke udara.
"Mau pergi ke mana, Buk?" tanya Cesilya yang kini telah duduk kembali dengan tenang di kursinya.
Aliyah yang tidak pernah duduk sejak bel istirahat pertama berbunyi, membalas cepat, "Lanjut ke penarikan nama berikutnya!"***
Malam itu, Ibu Cesilya mengajaknya untuk mengunjungi rumah seorang saudara sepupu. Tepatnya itu adalah rumah kakak kandung dari Ibu Cesilya. Kakak kandung ibunya memiliki sepasang anak. Anak pertama adalah anak perempuan bernama Kak Dissa, usianya tiga tahun di atas Cesilya. Anak kedua adalah seorang anak laki-laki bernama Andra yang berusia satu tahun di bawah Cesilya.
Cesilya awalnya tidak tahu kalau kedua saudara sepupunya itu 'berbeda' dari orang-orang kebanyakan. Mereka punya indra keenam atau bahasa kerennya indigo. Ia mengetahui tentang hal itu setelah bermain boneka dengan Kak Dissa di teras depan rumah keluarga Kak Dissa.
Ketika mereka berdua sedang asyik memainkan boneka di tangan masing-masing, Kak Dissa tiba-tiba berkata, "Sil, kamu hati-hati ya kalau bicara."
"Kenapa, Kak?" Cesilya, yang masih kelas 2 SD, bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Kak Dissa mengarahkan telunjuknya ke arah belakang Cesilya. Spontan, Cesilya menoleh ke belakang, mengikuti arah telunjuk Kak Dissa.
"Hati-hati kalau bicara. Jangan sampai kamu bicara kotor. Di sana lagi ada yang ngeliatin."
Cesilya menyipitkan matanya ke arah pas di depan sebuah jalan kecil yang gelap tanpa penerangan lampu. Itulah lokasi yang sedari tadi ditunjuk oleh jari telunjuk Kak Dissa.
"Apa maksudnya, Kak? Di sana nggak ada orang, tuh."
"Sssttt." Kak Dissa kini menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Dia ada di sana. Jangan dilihat dan dibicarain lagi. Nggak boleh! Pura-pura nggak tau aja!"
Aneh sekali, pikir Cesilya. Kalau bukan karena Kak Dissa sendiri yang bicara lebih dulu, Cesilya pasti tidak akan pernah tahu tentang 'sesuatu yang tak tampak' di depan sebuah jalan kecil dekat rumah keluarga Kak Dissa.
Karena sifat Cesilya yang cuek dan tidak mau ambil pusing, Cesilya kembali memainkan boneka-boneka milik kakak sepupu perempuannya itu. Wah, boneka Kak Dissa banyak sekali! Aku suka!
***
Sepasang mata Cesilya menatap khawatir keenam teman yang lain. Ia mencoba membaca ekspresi wajah mereka. Cesilya menangkap wajah serius keenam temannya yang mendengarkan cerita darinya dengan penuh minat. Ia tidak menemukan ekspresi bosan atau meremehkan pada wajah mereka.
Cesilya mengembuskan napas lega. Namun kembali ia menarik napas dan melanjutkan, "Kali ini, aku bakal ceritain tentang adiknya Kak Dissa, si Andra."
"Emang kadang orang yang bisa ngeliat makhluk halus itu suka mendadak ngasih tau ke kita. Semacam memperingatkan gitu. Tapi abis dipikir-pikir lagi, kalau mereka nggak ngasih tau juga sebenarnya nggak apa-apa sih, buat kita. Malah lebih baik nggak usah dikasih tau sekalian. Jadinya, kan, nggak bakal bikin kita waswas," kata Prama.
"Bener banget. Suka heran sama orang yang heboh ngasih tau kalau mereka bisa ngeliat hantu," sambung Aliyah.
"Tapi kalau nggak ada orang-orang kayak mereka, kita nggak bakal ngumpul di sini, 'kan?" ucap Erik menengahi.
"Iya, sih." Prama disertai keenam teman lainnya mengangguk-angguk.
"Oke, aku lanjut cerita, ya," kata Cesilya akhirnya, ia memajukan kursinya ke depan dan meletakkan kedua lengannya di atas meja, bersiap-siap melanjutkan cerita kedua.
***
Untuk Andra, Cesilya tidak pernah mendengar langsung dari mulut Andra soal keberadaan makhluk halus yang sedang dilihat olehnya. Cesilya hanya pernah mendengar beberapa cerita dari dunia persaudaraan sepupu antarkeluarga mereka.
Mungkin cerita selanjutnya ini bisa diberi judul 'Tante yang Tersenyum Kepadaku'.
"Eh, katanya si Andra waktu kecil pernah nunjuk atap rumah orang terus nanya gini ke mamanya, 'Tante itu ngapain di sana, Ma?' Ih, serem, deh!" kata Sepupu Satu, memulai percakapan.
"Iya, mana katanya gini lagi, 'Senyum tantenya kok lebar banget, Ma? Padahal wajahnya jelek hancur gitu.' Kebayang nggak sama kalian gimana hancurnya wajah 'tante tak kasat mata' yang dimaksud si Andra? Dan si Andra cuma komentar doang kayak biasa aja gitu. Bukannya ngerasa takut. Salut, deh!" balas Sepupu Dua.
"Emang waktu itu Andra umur berapa?"
"Masih kecil banget. Umur 4 atau 5 tahunlah."
"Serius? Kecil-kecil tapi berani, ya. Coba aku yang ngalamin itu, kalau nggak nangis dari malam hari ini sampai malam besoknya lagi."
"Orang-orang yang punya sixth sense mungkin punya ketahanan yang beda sama orang umum kayak kita."
"Ketahanan beda gimana? Setau aku masih ada juga kok yang nggak kuat walaupun udah sering liat. Malah terakhir mereka jadi nyari orang pinter buat nutup mata batin mereka."
"Berarti kita harus banyak-banyak bersyukur karena nggak bisa 'ngeliat' dan ngejalani kehidupan normal."
"Yup! Bersyukur sekali!"
Pembicaraan mereka berakhir. Cesilya meminta izin pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih di rumah saudara sepupunya itu—rumah sepupunya yang lain, bukan rumah keluarga Kak Dissa.
***
"Asli deh, si Andra emang anak kecil yang tangguh!" kata Adrian memecah keheningan yang terjadi setelah Cesilya menyelesaikan cerita horornya.
"Iya, biasanya anak kecil nangis, loh, pas jumpa sesuatu yang nggak beres," tambah Ambar takjub.
"Kita tutup aja buat hari ini?" tanya Aliyah sebagai seorang moderator. Sebenarnya tidak ada yang menunjuk Aliyah menjadi moderator, dia hanya melakukannya secara natural dan teman-temannya menerima itu dengan senang hati. Toh, di antara mereka bertujuh, tidak akan ada yang menikmati posisi moderator ini sebaik Aliyah.
Semuanya mengacungkan jempol, kecuali Cesilya.
"Thank you buat cerita horor dari Cesilya hari ini. We really appreciate you as the number one among us. Dan bersiap-siaplah untuk speaker kedua besok."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dering Bel Terakhir
HorrorMereka bertujuh melakulan estafet cerita horor pada saat jam istirahat dimulai. Satu per satu cerita dibagikan hingga dering bel terakhir berbunyi. Apa yang terjadi pada mereka setelahnya?