29

22 3 5
                                    

BERIKAN VOTE DULU!
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Mengukir kenangan dari kebersamaan di waktu yang singkat"

⁽⁠⁽⁠⁽⁠ଘ⁠(⁠ ⁠ˊ⁠ᵕ⁠ˋ⁠ ⁠)⁠ଓ⁠⁾⁠⁾⁽⁠⁽⁠ଘ⁠(⁠ ⁠ˊ⁠ᵕ⁠ˋ⁠ ⁠)⁠ଓ⁠⁾⁠⁾

Dasar gila! Dua kata yang muncul dalam benak Nara ketika mengingat permintaan konyol dari Nesta. Dia pikir Nara mencintainya sehingga harus menikah siri. Dia tidak tahu jika waktu yang diberikan Nara selama enam bulan atau sampai Neithen wisuda adalah caranya untuk menghindar.

Nikah siri dilakukan oleh orang yang ingin menikah dari hati, menikah karena saling mencintai, menikah karena ingin bersama, namun terdapat beberapa kendala untuk melakukan nikah secara resmi. Bukan pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan seperti ini.

Benar-benar gila! Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Karena Nara menerima pernikahan ini, ia berpikir bahwa Nara perlahan akan mencintainya. Seandainya Nesta tahu, menyelami kedalaman samudera pun tidak akan mampu membuat Nara berpaling dari Neithen.

Tiga bulan sudah dilewati sejak kesepakatan menikah itu disetujui. Sejauh ini Nara masih berhasil menunjukkan pada Neithen bahwa semua baik-baik saja. Mengenai pernikahannya belum bocor pada telinga siapa pun, termasuk Mesya. Nara merasa masih belum siap untuk menceritakan masalah ini pada sahabat baiknya itu. Bagaimanapun Mesya sangat dekat dengan Varen, tidak menutup kemungkinan jika masalah ini bisa saja sampai pada Neithen.

Mungkin jika Neithen sudah menyelesaikan skripsinya hingga sidang terakhir, tidak mengapa kalaupun masalah ini bocor padanya. Itu tidak akan mengganggu kefokusannya karena pendidikannya sudah selesai. Sementara untuk saat ini Nara masih berusaha untuk menutupinya.

"Kapan berangkat KKN?" Neithen bertanya.

Selama tiga bulan itu mereka jarang sekali bertemu. Padahal seharusnya waktu itu mereka gunakan untuk melukis kenangan bersama sebelum waktu lain memisahkannya. Neithen memang mati-matian belajar hanya untuk beasiswa di peluang terakhirnya. Nara juga memaklumi itu. Ia sendiri menyibukkan diri dengan belajar dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

"Minggu depan," Nara menjawab. Mereka berada di tempat biasa. Di bawah pohon, di pinggir danau. Dalam tiga bulan mereka hanya mengunjungi danau dua kali.

"Saya minta maaf, karena beberapa bulan ini nggak bisa ngajak kamu keliling kota. Sekarang kamu juga harus KKN. Berapa lama di sana?" Neithen menoleh, menatap Nara, menunggu jawaban.

"Empat puluh hari."

"Kalau ada waktu saya akan sempatkan untuk menjenguk kamu ke sana."

"Kalau sibuk nggak papa. Sidangnya kapan?"

"Nanti saya kabarin lagi."

Tidak seperti hari biasanya, hari ini tidak ada wajah semangat dalam hidup Nara. Padahal sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, yang membuatnya tidak menikmati kebersamaan hari ini.

Untuk beberapa saat mereka hanya menikmati gelombang danau yang tenang. Angin yang meniup sepoi-sepoi. Tidak ada obrolan.

Neithen menoleh, menatap Nara lamat-lamat. Melihat ada sesuatu yang aneh, ia pun bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Na?"

Nara menoleh, memberikan senyuman manisnya. Bersama dengan senyuman itu ia menggeleng.

"Kamu pasti lagi ada sesuatu. Kamu nggak biasanya seperti ini. Nara yang saya kenal itu banyak nanya, banyak bercerita. Kalau lagi ada masalah di rumah, cerita aja. Minggu depan kamu KKN, kita nggak bisa cerita lagi." Neithen membujuknya, dengan suara lembutnya.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang