25

31 6 6
                                    

JANGAN LUPA DIVOTE YA WEEEH
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Mengapa sesuatu yang berbeda tidak bisa bersama?"

(⁠。⁠☬⁠0⁠☬⁠。⁠)

"Kamu tunggu di sini!" Neithen melangkahkan kakinya memasuki Gereja.

Seperti ketenangan pesisir pantai yang diterjang ombak. Begitulah kira-kira perasaan Nara saat ini. Satu kata pun belum keluar dari mulutnya. Kedua kakinya masih kuat menopang hati yang rapuh. Tubuhnya lemas, namun ia masih berdiri kokoh. Pandangannya masih utuh. Menatap langkah sang lelaki yang semakin jauh memasuki lorong rumah Tuhan.

Satu tetes air mata menjawab isi hatinya. Jeritan hati di tengah mulut yang terkunci, maka hanya air mata yang menjadi saksi betapa rapuhnya hati.

Tidak. Nara tidak menginginkan ini. Sama sekali tidak. Ini jauh lebih buruk dari gangguan Nesta. Apa yang harus Nara lakukan?

Gadis itu menyeka air mata yang menjatuhi pipinya. Bersama kepingan hati ia duduk menenangkan diri. Sampai lelaki itu kembali Nara baru berdiri.

"Ayo." Neithen kembali meraih tangannya, berjalan di trotoar jalan tanpa tujuan.

"Neithen," Nara memanggil. Neithen menoleh dengan kaki yang terus melangkah.

"Kaki gue keram." Nara menghentikan langkah, melepaskan tangannya dari genggaman Neithen.

"Kenapa? Kamu capek?"

"Enggak." Nara menggeleng. Yang keram bukan kakinya, melainkan hatinya.

"Duduk dulu."

Di trotoar jalan mereka duduk seperti anak jalanan. Nara masih terlihat lesu seakan dunia telah merenggut keceriaannya. Tawa dan senyuman itu hilang dalam sekejap mata.

"Kamu kenapa, Na?" Neithen bertanya, melihat gadis itu bengong dengan air mata yang tiba-tiba menetes kembali.

"Gue udah baca buku-buku yang lo kasih. Gue udah mulai coba buat nerapin itu dalam kehidupan gue sehari-hari. Tapi gue belum siap buat pake hijab," Nara berucap, matanya masih entah ke mana memandang.

"Enggak apa-apa. Perlahan-lahan nanti kamu bisa," Neithen menanggapi.

"Gue pikir, semakin gue dekat sama Tuhan, semakin Tuhan mendekatkan lo sama gue. Ternyata gue salah. Semakin gue dekat sama Tuhan, semakin gue jauh dari lo." Nara menatap Neithen, sendu.

"Nara, dekat sama Tuhan itu adalah kenikmatan. Manusia bisa meninggalkan, tapi Tuhan enggak. Saya menginginkan kamu lebih dekat dengan Tuhan, bukan berarti saya menginginkan kamu menjauhi saya. Karena bagaimanapun ..." Neithen mengalihkan pandangannya, "perbedaan itu nyata," lanjutnya, cukup berat mengatakan.

"Terus gue harus apa sekarang? Gue maunya lo, Ney."

"Saya, kamu, kita masih bisa bersama. Di kampus, ke danau, naik angkutan umum, main hujan-hujanan di motor. Kita masih bisa menikmati semua itu sama-sama."

"Tapi itu hanya sementara. Kita nggak bisa hidup satu atap seperti yang kita harapkan," Nara menimpali.

Lengang satu menit. Neithen pun bingung dengan perjalanan hidupnya. Kenapa dunia harus serumit ini. Tidakkah ada sedikit kebahagiaan untuknya? Kenapa semua seakan direnggut dari kehidupannya? Dunia benar-benar kejam padanya.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang