24

39 8 5
                                    

VOTE DULU YA WEEEH
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Narafa"

(⁠。⁠☬⁠0⁠☬⁠。⁠)

Nara menghentikan langkah. Semua mata tertuju padanya. Ia Masih kokoh berdiri tanpa menyapa. Atau bahkan sedikit tersenyum. Nara berwajah datar, cukup terkejut melihat Nesta bersama dengan keluarganya. Bercak air mulai membasahi lantai dari tubuhnya yang basah kuyup.

Nesta segera bangkit dari duduknya, menghampiri Narafa. Gadis itu menatapnya sejenak, kemudian segera melangkah menaiki anak tangga. Ia tak peduli pada mereka yang tengah duduk menunggunya. Entah karena malas melayani, atau memang ingin mengganti pakaiannya lebih dulu. Sepertinya begitu.

Nesta hanya mengepalkan jemarinya, kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Biarkan dia mengganti pakaiannya," Arthur berkata, begitu Rena hendak bangkit dari duduknya.

"Aku segera kembali." Rena tetap pergi menuju kamar anak gadisnya. Ia mengetuk pintu, tidak ada sahutan dari dalam. Rena memilih untuk masuk, berpikir bahwa gadis itu sedang berada di kamar mandi.

Benar saja. Nara sedang menatap dirinya di cermin wastafel. Suasana hatinya langsung berubah kacau begitu melihat pemandangan buruk yang dilihatnya barusan. Itu benar-benar merusak kebahagiaannya.

"Kasih, kamu di dalam?" Rena mengetuk pintu kamar mandi. Nara menyahut dari dalam.

"Jangan lupa turun ke bawah kalau udah selesai." Rena segera keluar, menutup pintu kamar, lalu kembali setelah memberitahu.

Nara mendengus, memejamkan matanya. Tawa dan senyuman itu belum hilang dari ingatannya. Mungkin saja tidak akan pernah hilang. Tapi masalah sudah datang untuk merusak semuanya. Termasuk kebahagiaan yang baru saja ia dapatkan.

Setelah setengah jam di dalam kamar, bolak-balik menatap diri pada pantulan cermin, akhirnya ia memutuskan untuk menemui lelaki rese itu.

Mereka tampak sabar menunggu kehadiran Nara. Jika dihitung dari detik menginjakan kaki, maka sudah 4 jam mereka menunggunya. Lama, bukan? Tentu saja. Namun Nesta tetap memilih menunggu bahkan jika malam sudah tiba.

Pukul 5 sore Nara sudah duduk di antara sofa yang mereka duduki. Ia duduk di samping sang ibu, Rena.

"Mereka sudah menunggu kamu 4 jam lebih," Arthur berkata. Nara memberikan senyumannya pada kedua orang tua Nesta, yakni, Raden dan Venny.

"Tidak apa-apa." Venny tersenyum. Baginya mungkin tidak mengapa, karena apa pun demi anak kesayangannya. Tetapi Raden sudah cukup bosan menunggunya. Terlebih lelaki itu malu pada Arthur atas kelakuan buruk Nesta.

"Kamu sudah tahu kedatangan Nesta ke sini?" Arthur bertanya pada anak gadisnya. Nara menggeleng saja.

"Untuk menyampaikan niat baiknya. Nesta ingin melamar kamu." Arthur memberitahu. Nara sontak terkejut. Matanya membulat, menatap pada Nesta. Lelaki itu malah tersenyum.

"Papa ... bukannya meminta aku untuk fokus kuliah dulu?" Nara bersuara seadanya. Ia berusaha mengalihkan topik pernikahan yang sebenarnya sudah ia ketahui sebelumnya.

Arthur menatap gadis di sebelahnya itu, lalu Nara memberikan senyuman tipisnya. Arthur paham di balik senyuman itu adalah sebuah penolakan. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada kedua orang tua Nesta.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang