21

35 8 8
                                    

HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
VOTE+KOMEN MAKSA!!!
.
.
.
"Orang yang kita cintai hanya akan memberi luka"

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Tempat di mana Neithen menenangkan pikirannya. Duduk di bangku di bawah pohon, di belakang kampus tepatnya. Di sana lah ia melepaskan tangan Nara perlahan.

Nara tidak ingin membuka suara. Ia senang hari ini. Neithen menggenggam tangannya, membawanya pergi dari tekanan Nesta. Itu sungguh berarti bagi Nara.

Setelah tangan itu lepas dari genggaman, Nara masih berdiri diam menatapnya. Berbeda dengan Neithen yang justru tengah duduk dan kecewa pada dirinya sendiri. Lengang untuk beberapa saat. Neithen lalu menoleh pada sang gadis yang masih berdiri.

"Duduk!" pintanya, kembali mengalihkan pandangan.

"Makasih." Nara duduk di sebelahnya. Masih belum ada kalimat yang keluar setelahnya.

"Maaf. Kemarin saya sempat nggak percaya," ucap Neithen. "Apa Nesta sering menyakitimu, Nara?" Neithen menoleh, menatapnya.

Nara dengan wajah datar menggeleng saja. Namun tatapannya belum sedetikpun ia alihkan dari lelaki itu. Setiap ekspresi yang dipasangnya Nara tidak melihat keburukan apa pun di sana. Bahkan napas yang keluar pun terdengar indah di telinga Nara.

Buta. Cinta benar-benar buta. Tapi tidak dengan cintanya Narafa. Semua yang Nara lihat dan dengar, dari setiap sisinya adalah keindahan. Itu benar.

"Kamu punya hubungan dengannya?" Neithen bertanya lagi. Nara mengalihkan pandangan, pada akhirnya.

"Hubungan terpaksa yang dilakukan atas dasar cinta. Tapi bukan cinta dalam sebuah hubungan," Nara berucap.

Satu menit lengang. Neithen sedang berpikir.

"Apa saya adalah alasan di balik kekerasan Nesta?"

Nara menoleh, menatapnya lagi. "Bukan. Bukan lo yang menjadi alasan, tapi cinta gue ke lo, itu alasannya."

Neithen masih menatapnya, lebih seksama. Bibir tipis dengan warna lipstik merah bata itu masih ditatapnya. Ia kembali beralih pandang secara perlahan.

"Jika saya adalah penyebab masalahnya, maka solusinya pun ada pada saya," ucap Neithen.

Benar. Dengan Neithen melindunginya, menerima Nara dalam hubungan, maka setidak-tidaknya Nesta harus berhadapan dengan Neithen sebelum mengancam Nara. Nara sungguh mengharapkan hal itu.

"Terima Nesta. Jalankan hubungan dengannya tanpa harus memikirkan saya. Hanya itu satu-satunya solusi agar Nesta tidak lagi menyakitimu." Neithen memaparkan sarannya.

Salah. Apa yang Nara pikirkan benar-benar salah. Nara sama sekali tidak mengharapkan ini. Ini menyakitkan untuknya.

"Kenapa harus gue yang terima Nesta? Kenapa nggak lo aja yang nerima gue?" Nara membalikkan pertanyaan.

Neithen menoleh kembali, menatapnya untuk beberapa saat. Ia lalu bangkit dari duduknya, melangkah ke depan. Ia menatap dedaunan dari tanaman di sekitarnya.

"Enggak ada yang bisa menghentikan obsesinya seseorang, kecuali dirinya sendiri yang sadar. Akan lebih buruk jika kamu bersama saya, Nara." Neithen melontarkan kalimatnya di tengah tatapannya yang masih fokus pada dedaunan.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang