Bab 5

47 11 0
                                    

Tiba-tiba saja pintu diketuk tanpa henti pada tengah malam. Ibu mengintip dari jendela, rupanya Bapak yang datang dalam balutan seragam.

Mereka menyambut dengan sukacita, tumben sekali Bapak pulang tanpa memberi kabar. Bukan seperti biasa, harus bersabar menanti hari kepulangan, juga was-was akan pembatalan. Bukan sekali, dua kali itu terjadi.

Hari menjemput Bapak adalah momen terindah. Dada tak berhenti berdegup kencang hanya dengan melihat pesawat yang membawa Bapak mendarat.

"Tumben Bapak pulang tiba-tiba."

Bapak tersenyum dengan membuka lebar kedua tangan, ia berlari ke dalam pelukan.

"Putri Bapak sudah besar. Lihat, Bu! Tingginya hampir sejidat Bapak."

"Lho, ransel Bapak mana?"

"Bapak pulang hanya sebentar, untuk menjemput Ibu."

"Jadi Mika bagaimana, Pak?"

"Kamu, kan, sudah menikah?"

"Oh iya ... ya."

Kening berkerut, seperti ada yang tidak nyambung! Perlahan mata terbuka, menatap sekeliling sampai kembali ke kesadaran penuh. Ibu meninggal! Pukul 7 pagi, bukankah tadi tertidur di samping jasad Ibu?

Bangkit dengan kepala puyeng, berlari ke luar. Ruangan dipenuhi banyak orang, jasad Ibu dikelilingi oleh keluarga dekat yang sudah tiba. Tangisan mereka pecah, ia segera memberi isyarat untuk memelankan suara.

Mada memperhatikan dari jauh, agak sungkan menampakkan diri. Khawatir suasana hati Mika akan berubah saat menyadari kehadirannya. Sangat sadar diri telah bersikap keterlaluan.

Dia mungkin bisa berdamai dengan perlakuan buruk terhadapnya, tapi tidak kepada ibunya. Bagi Mika, Ibu adalah segalanya. Sosok yang membuatnya rela menikah terburu-buru hanya agar beliau bahagia.

***

Entah kapan Mada datang, Mika baru melihat sosoknya saat mendekat untuk mencium wajah Ibu sebelum kafan ditutup. Saling menatap sesaat sebelum buru-buru menundukkan wajah, menyembunyikan mata berkaca-kaca.

Penghalang terbesar perpisahan telah pergi, apakah ini saat tepat untuk berpisah? Melepaskan diri seutuhnya dari penyiksaan terselubung.

Cukup terpana menyaksikan keaktifan Mada. Mulai dari ikutan mengangkat keranda ke ambulans sampai membantu menurunkan jasad ke liang kubur. Bertindak layaknya menantu idaman. Terlambat sudah! Apa dia menyesal? Atau itu hanya lakon saja?

Mada berdiri di samping saat jasad Ibu mulai ditimbun tanah. Tangan tiba-tiba memeluk pinggan, membuatnya berpaling karena kaget. Bukan hal biasa, lakonnya sungguh sempurna.

Masih terus memeluk, menuntun ke mobil untuk pulang. Seakan ia sangat rapuh, membutuhkan perlindungan. Dia tidak tahu bahwa matanya berkaca-kaca justru karena menangisi perlakuan sok peduli. Huh!

Mobil mereka yang terakhir meninggalkan pemakaman. Senyap mewarnai perjalanan, Mika berpaling ke jendela, sementara Mada hanya menatap lurus ke depan.

"Sorry, aku tidak membaca pesan."

Dia meminta maaf? Sejak kapan waktu kembali ke masa lalu? Momen di mana Mada akan selalu meminta maaf untuk kesalahan sekecil apa pun. Itu pernah terjadi pada kencan-kencan singkat penuh kehangatan sebelum pernikahan. Sebelum misinya sukses!

"Memangnya kamu pernah membaca pesan dan menjawab teleponku?" bertanya tanpa berpaling. "Itu akan menjadi pesan dan telepon terakhir! Orang yang mengharuskanku menghubungimu sudah pergi." Mengusap air mata, tidak pantas menangis karena Mada.

How Long Can You Survive?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang