Aeris melempar tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar sembari termenung. Dirasanya energi di seluruh tubuhnya habis tak bersisa, setelah ia berhasil mengubah pemikiran gila kakak keduanya yang hendak mengeruk danau yang terdapat dalam mension.Bukan hanya membuang banyak sekali anggaran, jika danau itu di tutup Aeris harus keluar mencari danau lain untuk eksperimen lainnya dalam buku yang baru ia temukan.
Lagipula kenapa reaksi semua orang berlebihan?
Karena suasana yang hening dan juga fisiknya yang lelah, Lambat laun kelopak matanya mulai tertutup bersiap menyelami dunia alam bawah sadarnya sebelum ia merasakan kaki mungil berbulu Arve berada di atas pundaknya.
"Nak!"
Aeris melenguh merasa tak ingin di ganggu. "Aku lelah Arve, biarkan aku.. tidur.."
Dibalas seperti itu membuat Arve semakin gencar mengganggu Aeris. Telapak kaki merah mudanya itu terus menerus menepuk pundak Aeris.
"Kau masih meninggalkan manusia itu di dalam gudang."
Ah benar!
Kedua mata Aeris yang tadinya terpejam kini telah membulat sempurna. Walaupun begitu ia dengan enggan beranjak dari tidurnya memeluk kedua lututnya dan bersandar.
"Tapi apa peduliku? Jika dia memang prajurit atau pelayan baru, ia akan segera kembali ke tempatnya."
"Jika bukan bagaimana?"
Bibir ranumnya berdecak kesal, pancingan seperti ini sangat mudah sekali membuatnya penasaran.
"Jika terjadi sesuatu nanti dia pasti juga akan merobohkan gudang itu." Gumam Aeris.
"Dia siapa?"
Aeris dengan cepat menggeleng. "Nggak. Ayo keluar."
📜📜📜
"Ugh.."
Di dalam sepetak ruang gelap dengan banyak lemari berjejer di dalamnya, terdengar suara rintihan dibaliknya.
Seorang lelaki dengan setelan pakaiannya yang telah robek di beberapa sisi, perlahan mencoba untuk bangkit. Pandangannya beredar pada sekeliling walaupun tak terlihat begitu jelas.
Terlihat jelas bahwa ia tak dapat mengingat bagaimana dirinya bisa sampai berada diruangan seperti ini.
Terakhir kali ia mengingat dirinya jatuh kedalam arus sungai deras saat tengah melarikan diri dari assassin yang menyerangnya secara berkelompok. Apa mereka menemukannya dan membawa tubuhnya kemari untuk di jadikan sandera? Namun untuk dikatakan demikian, ini tidak terlihat seperti itu.
KLONTANG . . !
Ditengah sunyi kegelapan, lelaki itu mendongak menatap kearah pintu disisi ujung ruangan ini. Matanya memicing merasa waspada mendengar keributan di luar sana. Ia dengan tertatih bangkit bersembunyi di balik lemari berisikan kardus-kardus penuh debu dan mengawasi dari sana.
Disisi lain, Aeris meringis pelan saat sikunya tak sengaja menyenggol perabot besi yang tertumpuk. Arve menggeleng. "Ada kalanya kau tidak berbakat menjadi seorang mata-mata, nak."
Aeris memperhatikan sekitar, sepertinya bunyi yang ia hasilkan tidak begitu menarik perhatian. "Berisik, ayo cepat selesaikan ini!"
Dengan berhati-hati ia membuka pintu gudang dan menghela napas saat tak melihat seorang pun di dalam sana. Kedua tangan Aeris bertengger pada pinggang rampingnya. "Lihat? Sudah ku bilang dia akan pergi sesaat setelah ia sadar."
Arve nampak tak menggubris Aeris yang berdiri diambang pintu. Kedua bola mata bulat Arve menyala terang selayaknya seekor kucing dalam ruang gelap. Ia mengendus tempat itu.
"Kau harus belajar mengamati sebelum akhirnya mengambil keputusan, nak. Itu pelajaran dasar." Sindir Arve tiba-tiba.
Aeris memilih untuk berjongkok di posisinya. Menatap gerak-gerik Arve yang melangkah pelan seperti sedang menargetkan mangsa. Aeris menghela napas. Dia hanya seekor kucing, segalak apapun tampang yang ia tampilkan itu tak akan berguna untuk menakuti seseorang.
Tak berselang lama, saat Aeris mengalihkan arah pandangnya dirinya tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang di dalam sana. Karena gelap, yang terlihat hanyalah kedua mata yang berada di tengah celah rak penyimpanan. Tetapi ia yakin bukan makhluk lain yang ia lihat melainkan manusia— lelaki yang dengan susah payah ia bopong kemari.
Dengan gerakan sigap ia langsung beranjak seraya meraih balok kayu kecil di dekatnya dan mengarahkannya ke depan.
"Jangan sembunyi!"
Genggam Aeris erat pada ujung balok kayu itu, ia menatap tajam kearah rak itu. Untuk beberapa saat ruangan itu menjadi hening kembali sebelum seorang lelaki itu menampakkan dirinya.
"Siapa kau?"
Kening Aeris mengerut. Lelaki itu menggunakan bahasa informal padanya. "Seharusnya aku yang menanyakan itu, bagaimana kau bisa ada di danau kediaman ku? Kau seorang pesuruh? prajurit junior? Atau seorang pencuri kelas kakap yang berusaha melarikan diri?"
"Danau?" Lelaki itu memasang ekspresi bingung, "Jangan bercanda, kau bagian dari tikus-tikus itu kan? Jawab aku ini di mana?"
Aeris menghembuskan napas tak percaya, diayunkannya balok kayu digenggamnya menunjuk kearah lelaki itu. "Apa maksud mu tikus-tikus?"
"Kau berada di kediaman ku. Kediaman Marquis Jiellart, wilayah selatan kekaisaran. Aku menolong mu yang entah bagaimana nggak sadarkan diri di danau lalu mengamankan mu disini karena aku nggak tau siapa kamu. Lalu ini balasan mu?" Tatapan Aeris menajam, "setidaknya beri tau aku nama mu dan bagaimana kau bisa ada di danau itu!?"
"Jiellart?"
Sebelah alis Aeris terangkat, "Aku sudah menjawab mu, sekarang bukankah giliran mu menjawab ku?"
Lelaki itu mendesah lelah, "Aku.." ia menatap Aeris seperti memindai apakah yang dikatakannya bisa di percaya.
"—nggak ingat apapun.""Apa!?"
Kruyuk...
Bunyi aneh itu membuat arah pandang Aeris teralih pada perut lelaki itu. Disampingnya, Arve melangkah sembari mengibas ekornya.
"Ku pikir dia belum makan seharian ini." Celetuk Arve.
"Apa yang kau lihat!?" Lelaki itu meletakkan kedua lengannya di bagian perut menatap tajam Aeris.
Setelah mengamati beberapa saat, ia menghela napas pasrah. "Hey, angkat tangan mu ke udara."
"Untuk apa?" Tatapan waspada langsung saja terarah pada Aeris.
"Sudahlah ikuti saja, cepat!"
Walaupun ragu, lelaki itu pada akhirnya mengikuti kemauan Aeris. Dilihatnya Aeris yang mengitarinya dengan masih menodongkan balok kayu ke arahnya. Entahlah siapa yang harus di waspadai disini sebenarnya.
"Apa yang kau lakukan!?" Lelaki itu melangkah mundur saat Aeris tiba-tiba menarik lengannya ke belakang.
"Ini wilayah ku, aku juga masih meragukan identitas mu. Jadi ikuti saja!" Sinis Aeris mengarahkan kedua lengan lelaki itu ke belakang lalu mengikatnya dengan kain.
"Selesai." Ia menatap lelaki itu sejenak sebelum melangkah mendahuluinya. "Jangan berisik dan ikuti aku."
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
AERIS
Fantasy"Ini lingkar sihirnya beneran nggak ada koreksi lagi? Kok kita nggak pindah kemana-mana?" Aeris Jiellart namanya, anak bungsu dari keluarga penguasa wilayah Selatan penghasil tambang berlian terbesar di kekaisaran. Ia hanyalah si bungsu yang selalu...