•°~Happy Reading~°•
Alfeith merasa Nix agak aneh belakangan ini. Gadis itu terus memandangnya dengan berbagai pandangan, entah datar, dengan kening berkerut, sedih, bahkan tersenyum lebar seperti saat ini. Nix menatapnya begitu intens, sangat intens membuat Alfeith ngeri seligus senang. "Ada apa, hm?" tanya Alfeith memuaskan rasa penasarannya.
Nix menggeleng. "Tidak, lanjutkan saja pekerjaan mu," katanya lalu memangku dagu, menatap Alfeith semakin dalam.
"Ada yang kau inginkan, hm?" Laki-laki itu kembali bertanya karena tak puas dengan jawaban gadisnya. Nix menggelengkan membuat Alfeith menghela napas. "Jangan tersenyum seperti itu, kau akan membuatku turn on."
Seketika Nix mendelik pada laki-laki itu, dia memukul bahu Alfeith membuat laki-laki itu tertawa. Alfeith menepikan laptopnya dan membawa Nix ke pangkuannya. Menunggu gadis itu menolak, tapi tak kunjung dapat tanggapan, Alfeith segera melingkarkan tanganya ke pinggang gadisnya.
Aneh, terlalu aneh baginya kala Nix kerap kali menolak sentuhannya. Entah ini pertanda buruk atau baik, Alfeith tidak bisa membaca raut yang ditampilkan Nix. Terlalu banyak rahasia dibaliknya.
"Ada apa, hm? Atau ada yang mengganggumu?" Sekali lagi Alfeith bertanya seraya membelai lalu menyelipkan rambut Nix pada telinga.
Lagi-lagi Nix menggeleng dengan senyum merekah. "Ayo buat kenangan baik! Kita tidak punya kenangan baik, Alfeith!"
Sekali Nix bersuara, membuat napas Alfeith tercekat. "Kenangan baik? Kita selalu punya kenangan baik, Sweetheart." Alfeith bersuara seraya tersenyum. Namun dengan senyum terpaksa.
Nix dengan gemas memeluk Alfeith dengan kuat, saking gemasnya gadis itu sampai menggigit bahu laki-laki itu hingga berdarah. Alfeith berjengit kaget lalu meringis. Laki-laki itu tertawa, membiarkan gadisnya berbuat apa pun.
Nix menarik diri lalu menatap Alfeith tanpa ekspresi. Namun Alfeith salah fokus pada sudut bibir Nix yang berdarah, darahnya. Beralih, laki-laki itu mematap iris heterochromia Nix yang berkilat seperti berlian.
"Nix, aku ... boleh menciummu?"
"Kenapa minta izin? Padahal kau sering-"
Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimatmya, benda lunak menyapu bibirnya dengan menuntut. Hampir saja gadis itu mendorong Alfeith karena serangan yang tiba-tiba. Di sela kegiatan pertama kali bagi Alfeith, laki-laki itu merasakan suatu cairan yang serasa asin, dia menarik diri dan mendapati Nix yang telah menangis.
Alfeith panik, tentu saja. "Hei-hei, I'm so sorry, babe. Aku menyakitimu, hm?" Alfeith mengusap pipi Nix yang basah dengan air matanya. "Maaf, aku tidak akan mengulainya lagi." Hati Alfeith melihat Nix menangis karena ulahnya. Selama ini Nix hanya akan merengut dan menatapnya penuh kekesalan. Namun kali ini mungkin dia telah keterlaluan.
"Tidak-tidak, jangan katakan itu. Aku menangis bukan karena ... ugh, air mata, tolonglah berhenti."
Alfeith cepat-cepat menarik Nix ke dalam pelukannya, menyembunyikan wajah Nix yang basah. "Tidak papa, menangislah, aku di sini. Tidak papa, Sweetheart. " Alfeith menepuk punggung Nix, mencoba membuat gadisnya lebih tenang.
Namun bukannya tenang Nix malah semakin menangis. "Maafkan aku Alfeith, maafkan aku. Maaf..."
"Aku sudah maafkan," jawab Alfeith cepat, tak membiarkan Nix mengucapkan kata itu lagi. Alfeith tak tau apa yang membuat gadisnya menjadi seperti ini, Nix terlalu abu-abu untuknya. "Seharusnya aku yang minta maaf."
***
Alfeith berkutat dengan alat masaknya. Hidup sendiri, Alfeith terbiasa memasak dan tidak pernah membeli diluar jika tidak genting. Langkah pelan di belakangnya membuat Alfeith tak repot menoleh, sudah tertebak siapa karena hanya ada dirinya dan Nix di apartemen itu. Alfeith menunggu dikejutkan oleh gadis itu. Namun yang dia dapatkan adalah pelukan dan duselan pada punggungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Scorpion Missions
Mystery / ThrillerOrganisasi Scorpion harus beralih tugas mencari dalang dibalik kematian seorang siswi Scorpius High School dan berlanjut pada pembunuhan berantai. "Tidak ada pembunuh yang sengaja meletakkan petunjuk, apalagi sampai memberitahukan siapa dirinya." Ke...