"Seorang mahasiswi Universitas Swasta Dwarka Dharma tahun pertama ditemukan tak bernyawa di kamarnya oleh sang ayah. Diduga bunuh diri dengan menelan obat penenang dalam jumlah banyak. Saat ini polisi sedang menyelidiki lebih lanjut terkait kematian tersebut. Ada dugaan depresi karena situasi keluarga dan bullying yang..."
Allister, Hana, Narendra, dan Bara membaca berita terbaru yang sedang trending di laman media sosial kampus mereka. Berita itu juga sudah terbit di berbagai akun lainnya, bahkan masuk dalam tayangan televisi. Berita yang membuat seisi Dwarka Dharma gempar.
Nama mahasiswi yang tewas itu menyebar begitu cepat. Yayasan kampus menyelenggarakan rapat darurat dengan buru-buru. Beberapa nama mahasiswa ikut terseret, mendapat panggilan resmi dari pihak kampus. Dugaan perundungan sebagai alasan kematian mahasiswi itu semakin kuat.
Semua orang membicarakannya. Rumor-rumor mulai simpang siur. Tidak ada yang tau mana kebenaran yang sesungguhnya. Namun ada orang-orang yang memilih bungkam, tidak menjawab ketika ditanya, tidak pula memulai pembicaraan tentangnya.
"Gue kemarin ketemu sama dia," suara rendah Narendra memecah keheningan di antara teman-temannya.
"Serius, lo? Ketemu di mana?" buru Bara, yang pertama lepas dari keterkejutan karena informasi mengejutkan barusan.
Narendra lebih dulu menerawang jauh, memindai area taman kampus yang sore ini tidak begitu lengang. Banyak mahasiswa yang terlihat dalam kelompok-kelompok kecil seperti ia dan teman-temannya. Saling berbincang, mengerjakan tugas kelompok, atau hanya bersantai di kursi-kursi taman pinggir danau menanti matahari terbenam.
"Di sana," telunjuk Narendra mengarah pada dek di pinggir danau di seberang gazebo kecil yang mereka tempati.
Mata semua orang mengikuti arah telunjuk Narendra. Tiba-tiba angin dingin yang terasa begitu halus berhembus, membuat mereka entah mengapa merasa merinding.
"Lo nggak lagi bercanda, kan, Ren?" Allister melirik sangsi pada Narendra yang masih belum melepaskan pandangannya pada dek di seberang sana.
Narendra menggeleng pelan. "Gue liat dia di sana, waktu siang. Lagi nangis sendirian."
"Kemarin siang, berarti sebelum dia...?" kali ini suara bergetar milik Hana yang menimpali, tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
"Mungkin," ucap Narendra sambil lalu.
"Kalian nggak ngobrol sesuatu waktu itu?" tanya Bara penasaran.
"Nggak, dia cuma..." Narendra menggantung kata-katanya, memutar kembali memori yang masih segar dalam ingatannya. "Dia senyum sama gue."
"Senyum?" dahi Allister terlipat.
"Iya," Narendra menatap temannya satu-persatu. "Senyuman yang kelihatan lepas, tanpa beban. Seolah dia udah lepasin semuanya."
Mereka semua terdiam. Kini masing-masing sibuk menerka arti senyuman itu. Sekali lagi, angin dingin berhembus di sekitar mereka. Kali ini membawa hawa sedih, yang entah mengapa membuat hati mereka teras berat dan gamang.
**
Satu hari yang lalu. Beberapa jam sebelum kejadian...
Amora berjalan menyusuri gang-gang kecil perkampungan kumuh di belakang kompleks apartemen megah, tempat rumah kontrakannya berada. Dulu ia tidak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki di jalanan sempit seperti ini.
Lalu bagaimana Amora bisa berjalan di sana sekarang?
Semuanya bermula dari dirinya sendiri. Ya, Amora yang membawa kakinya menapaki jalanan dengan beton berlubang dan penuh genangan air ini. Ia bahkan menyeret Alan—papinya, untuk ikut bersamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
FIX YOU
Teen FictionAmora cinta mati dengan Allister. Tidak, lebih tepatnya, ia tergila-gila dengan lelaki populer di SMA-nya tersebut. Segala cara Amora lakukan untuk mendapatkan Allister. Termasuk, merundung seorang siswi beasiswa bernama Hana yang mendapat perhatian...