"Ketika jalan penuh hinaan dan rintangan menghadang, tekad Weavers untuk menghafal Al-Quran menjadi cahaya yang menuntunnya melangkah. Dari anak desa dengan mimpi besar, ia membuktikan bahwa setiap janji yang tulus adalah bekal untuk menempuh perjalanan panjang menuju kemuliaan."
" Weavers, nak, kemari sayang," panggil Ibu dengan suara serak parau.
Gadis kecil berkerudung hijau itu bergegas menghampiri pembaringan sang ibu yang terbaring lemah. Wajah kurusnya tampak semakin pucat dan keriput. Namun sepasang iris kelam itu masih memancarkan kobaran semangat yang membara.
Weavers menggenggam tangan keriput Ibu dengan erat.
" Ada apa, Ibu? Apakah Ibu merasa sakit lagi?" Ibu menggeleng pelan.
" Tidak, Nak. Ibu baik-baik saja..." Beliau terbatuk sejenak sebelum melanjutkan, " Ibu hanya ingin menyampaikan satu harapan pada putri Ibu yang solehah ini."
"Harapan apa, Bu?" Weavers mendongak, menatap wajah Ibu dengan sorot penuh tanya.
"Dengarkanlah baik-baik..." Ibu menarik napas panjang, "Sejak kecil, kau selalu membisu. Namun kini, suaramu diberikan untuk melantunkan kalimat-kalimat mulia Ilahi. Izinkanlah putriku kelak untuk mengikuti jejak langkahmu, menjadi pembawa obor penerang yang mencerahkan kegelapan dengan cahaya ayat-ayat suci."
Setitik air mata menetes di pipi Weavers yang merona. Ia mengangguk dalam diam, mencoba menguatkan hati di tengah sesak yang menyumbat kerongkongan.
"Berjanjilah, Nak..." Ibu membelai lembut surai hitamnya, "Berjanjilah untuk mewujudkan impianku melihatmu menjadi penghafal Al-Quran yang membawa cahaya kemuliaan Islam sampai akhir hayatmu."
"Insya Allah, Ibu. Aku berjanji..." Weavers terisak, "Aku berjanji untuk menggenggam erat harapan Ibu seperti aku menggenggam erat ayat-ayat suci ini."
Janji itulah yang mengikat langkah Weavers keesokan harinya. Tanpa ragu, ia mendaftarkan diri ke pondok pesantren tahfizh Al-Quran di kota sebelah. Meninggalkan kampung halaman yang lekat dengan aroma tembakau dan kenangan masa kecil yang dipenuhi hinaan karena impiannya menjadi penghafal.
Di awal kepindahannya ke asrama pondok, Weavers seringkali didera rasa rindu yang menikam kalbu. Bayangan wajah ibu yang terbaring lemah kerap membayangi setiap malam, mengusik waktu-waktu teduhnya menghafal. Namun ia mencoba bersikap tegar seperti yang selalu dicontohkan ibundanya.
Perjuangan baru pun dimulai di pondok pesantren. Sebagai murid baru dari desa terpencil, hinaan dan cemoohan tak pernah lepas dari telinganya. Gadis lugu itu kerap dilecehkan dan diremehkan oleh santri lain yang melihatnya hanya sebagai anak yatim piatu dari keluarga pemetik tembakau.
"Apa kau yakin mampu menjadi penghafal Al-Quran dengan otak kerdilmu itu? Lebih baik kau pulang saja ke desa dan mencari suami, daripada bermimpi setinggi langit seperti ini," olok salah seorang santri dengan raut mengejek.
Ucapan pedas itu sungguh membakar hati Weavers. Namun seakan tersadar oleh alunan ayat-ayat suci yang berkumandang dari dalam benaknya, ia mencoba untuk tetap tabah dan tidak terpancing emosi.
"Semoga Allah membimbingmu ke jalan yang benar, Saudara," balasnya lirih sembari membuang muka.
Malam berganti siang, bulan bergulir seiring waktu yang bergulir. Cemoohan dan hinaan tetap menjadi teman sehari-hari bagi Weavers. Tetapi semua itu tak sekali pun berhasil merenggut semangatnya untuk terus menghafal ayat demi ayat yang terukir di dalam kalbunya.
Di setiap kesempatan, Weavers memanjatkan doa kepada sang Maha Pencipta agar diberi ketabahan dan keberanian dalam menghadapi segala rintangan yang menghadang mimpinya. Bait-bait lantunan suci seakan menyatu dengan dzikir hatinya, menguatkan setiap tapak langkah kecilnya untuk tak pernah menyerah.
Hingga tibalah hari bahagia itu. Setelah berkubang dalam badai cemoohan selama bertahun-tahun, Weavers akhirnya berhasil meraih mahkota penghafal Al-Quran di puncak akbar wisudanya. Bulir-bulir air mata haru mengalir di kedua pipinya yang merona saat ia diarak keliling aula dengan mengenakan mahkota keemasan bertahtakan ayat suci di kepalanya.
Pada detik itu, Weavers seperti melihat bayangan senyum bahagia ibunya merekah di sudut ruangan. Seolah beliau turut bersuka cita menyaksikan putri semata wayangnya berhasil menapaki impian yang telah dijanjikan dulu.
Weavers menunduk dalam, mengecup kalungnya yang berbandul ayat suci sebagai bentuk rasa syukurnya."Ibu...lihatlah puteri kecilmu. Aku berhasil menjadi penghafal seperti harapan Ibu. Insya Allah, ini bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari perjalanan panjang membawa cahaya Islam seperti yang Ibu impikan." Weavers membatin dalam hening.
Ya, ini baru awal dari kisah seorang anak desa menjadi penghafal Al-Quran dan pembawa obor penerang bagi kegelapan dunia. Weavers telah melalui fase pertama perjuangan hidupnya dengan ketabahan dan keberanian yang membaja.
Namun masih ada jalan panjang penuh lika-liku yang harus dilaluinya untuk benar-benar mencapai tingkat keteduhan dan kebahagiaan seperti impian ibundanya.
Jangan lupa Di Vote, komentar
Follow IG:fath_azra2195 🙏🙏🙏