Rianti pun teringat Nurul ingin ke Jogja hari ini. Dua ibu jarinya mulai bergerak lincah mengetik pesan untuk Nurul.

Pagi ini juga, Rianti berangkat ke Jogja bersama Nurul menggunakan sepeda motor

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pagi ini juga, Rianti berangkat ke Jogja bersama Nurul menggunakan sepeda motor. Lagi-lagi ia membohongi papanya. Entah kenapa belum bisa membeberkan keadaan Liliana. Rianti tidak mau kabar itu justru mengacaukan kesehatan Antonio.

"Ri, kamu nggak lagi buru-buru, kan?" tanya Nurul.

"Nggak. Kenapa?"

"Berhenti sebentar, ya. Aku tadi belum sempat makan. Kita mampir ke kafe. Aku nemu kafe yang rotinya enak-enak banget."

Rianti setuju saja meskipun sudah sarapan. Sambil menunggu Nurul, ia bisa menghubungi dua kakaknya itu. Sampai detik ini, mereka belum menelepon balik.

Turun dari motor, bibir Rianti terangkat ke atas saat membaca plang yang bertulisan Mlebu Kafe: Mangan enak, murah, muleh wareg. Suasananya pun ramai walaupun masih pagi, mungkin karena hari Minggu.

Setelah mendapatkan tempat kosong di lantai dua, tanpa menunggu lama salah satu pramusaji langsung datang. Nurul mulai memesan makanan.

"Ri, kamu mau pesen apa?" tanya Nurul pada Rianti.

"Eh, aku nggak makan, Nu. Tadi udah sarapan."

"Lha, masa aku makan sendirian? Pesen aja cemilan sama minum. Nanti di tengah jalan perut kamu keroncongan, lho."

"Ya udah, deh, aku pesen." Rianti kemudian membaca buku menu. Memang benar harga makanan dan minumannya murah-murah. "Saya pesen pisang bakar cokelat keju, terus minumnya espresso."

Sekarang tinggal menunggu pesanannya datang. Rianti memanfaatkannya dengan mencoba menghubungi kedua kakaknya kembali. Tak hanya itu, Rianti juga memberondong mereka dengan banyak chat. Rianti yakin mereka tahu, tetapi tidak peduli. Maka dari itu, Rianti berusaha sampai titik darah penghabisan.

"Eh, tetangga sebelah akhirnya datang ke sini."

Rianti terkesiap setelah suara laki-laki yang ia kenal terdengar dari dekat. Apa dunia ini terlalu sempit sehingga bisa bertemu dengan laki-laki itu?

Kepala gadis itu mendongak, mulai mengamati wajah pria di hadapannya sekarang. Pria ini tidak pakai kacamata, warna rambut tidak segelap biasanya dan sedikit ikal, postur tubuhnya sedikit kurus, dan satu lagi, barusan laki-laki itu menyebutnya 'tetangga sebelah'.

"Mas Ryan, kan?" Rianti menebak dan tidak mungkin salah. "Lagi mampir ke sini juga?"

"Bukan. Ini kafe punya saya. Kebetulan, kan, kita ketemu di sini," jawab Ryan, lalu mengerlingkan mata. Sementara itu, Rianti terperangah.

"Justru saya yang mau tanya ke kamu, dari mana kamu tahu tempat ini? Dikasih tahu sama Fyan?" Kini giliran Ryan yang bertanya.

"Oh, nggak, Mas. Saya diajak sama temen." Rianti menyenggol lengan Nurul yang rupanya melongo memperhatikan visual Ryan.

"Salam kenal, ya." Ryan mengulurkan tangan ke arah Nurul. Tak disangka Nurul langsung menerimanya. "Saya Ryan, calon kakak ipar---ah, maksudnya pemilik kafe ini."

Rianti tersenyum kikuk. Ucapan barusan tetap saja bisa membuat pipinya memanas.

"Santai aja, anggap kayak rumah sendiri," ucap Ryan sebelum pergi.  "Ngomong-ngomong, ini spot yang biasa diduduki Fyan kalo lagi ke sini."

Untuk kedua kalinya Rianti terperangah. Saking fokusnya pada dua kakaknya yang jahanam itu, Rianti sampai tidak tahu bahwa pemandangan di lantai dua benar-benar bagus. Gunung Ungaran tampak gagah berdiri, mengingatkannya pada Fyan yang katanya suka naik gunung.

"Ri, mereka kembar?" Nurul bersuara.

Rianti mengangguk. "Iya."

"Kenalin, dong. Nanti kalo aku jadian sama dia, kamu sama kembarannya."

"Yang tadi udah punya istri sama anak, Nurul!"

"Yah, sayang banget." Suara Nurul seketika merendah. Gadis itu tampak kecewa. "Heran kamu bisa bedain mereka. Aku aja kalo kamu nggak ngomong pasti ngira orang yang sama."

"Kamu kalo sering ketemu juga bisa bedain," balas Rianti.

"Iya juga."

Pesanan datang. Rianti menikmatinya sembari memandangi langit biru. Angin pun turut memberikan kontribusi. Meskipun dingin sebab masih pagi, tidak mengurangi suasana.

Begitu makanan dan minumannya habis, kedua gadis itu langsung turun untuk membayar di kasir. Namun, ketika Nurul hendak menyodorkan ponselnya untuk memindai uang, Ryan yang ada di sana langsung mencegahnya.

"Nggak usah. Buat kalian saya kasih gratis."

"Eh, jangan gitu, lah, Mas. Ini habis banyak, lho," sergah Rianti.

"Nggak apa-apa. Dulu saya pernah bilang kalo Mbak datang ke sini saya kasih harga saudara."

"Kalo gitu saya bayar setengah aja, gimana?" Rianti masih saja negosiasi. Jujur dirinya tidak enak kalau gratis.

"Nggak usah. Ini saya beneran, kok."

"Tapi---"

"Gini aja. Nanti saya kasih bill-nya ke Fyan, biar dibayar sama dia."

"Loh, kok? Kan, Mas Fyan nggak tahu? Saya---"

"Udah, yuk, Ri. Nanti kita kesiangan sampai Jogja-nya. Itu di belakang udah ada yang ngantre." Nurul langsung memotong ucapan Rianti.

Rianti tidak bisa mengelak lagi sebab Nurul sudah menariknya keluar. Semoga saja Ryan tidak jadi menyerahkan bill ke Fyan.

Suara Fyan sama Ryan emang mirip, tapi ada bedanya dikit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Suara Fyan sama Ryan emang mirip, tapi ada bedanya dikit. Kalo Ryan agak bertenaga, sedangkan Fyan nge-bass.

Aduh, gitu doang aja Rianti bisa bedain 🤣🤣🤣

Menembus Partisi - [END] Where stories live. Discover now