47. MANUSIA MENYENANGKAN

64K 4K 1K
                                    

3K VOTE + 1K KOMEN NEXT

47. MANUSIA MENYENANGKAN

Gue benci mengalah. Tapi sama lo, gue siap merendah.

—Marselino Raygan Bumantara

***

Awan menggulung di langit biru. Lumayan terik dan menggugah selera untuk segera menenggak minuman dingin. Hari ini, bel pulang baru saja berbunyi yang menandakan usainya aktivitas belajar mengajar di SMA Rajawali.

Hanya butuh waktu tiga menit hingga gedung smansa berubah ramai gara-gara teriakan girang para murid. Baik siswa maupun siswi berlomba-lomba keluar dari lokal yang terasa begitu memuakkan—bagi mereka yang memang membenci celotehan si pengajar.

Sementara itu, di tengah hiruk-pikuknya suasana, dua orang laki-laki bertubuh tegap tengah menyusuri koridor SMANSA dengan kedua tangan sama-sama menenteng es cekek. Sapaan genit yang dilayangkan belasan siswi selama dalam perjalanan menuju kelas sebelas IPA tiga tidak ayal pula dua laki-laki tampan itu balas sedemikian rupa.

Kedipan sebelah mata, ciuman jarak jauh, serta senyuman penuh pesona khas Arlan dan Farel berhasil menambah kacau keadaan sekitar. Acara tebar pesona mereka masih akan berlanjut bila saja Bastian tidak melakukan panggilan video lewat aplikasi whatsapp. Lelaki yang menindik hitam telinga kirinya itu langsung memaki setelah Arlan mengangkat panggilannya. Mau tidak mau keduanya mulai memacu langkah demi menghindari terjadinya perang dunia ketiga.

Tampang kelima pria yang duduk di bangku kelas paling belakang jauh dari kata baik-baik saja sesampainya Arlan dan Farel di ambang pintu. Rambut yang acak-acakan, seragam pramuka yang tidak lagi terkancing, serta tatapan lesu yang terpancar di kedua bola mata masing-masing sudah cukup menandakan betapa frustrasinya lima laki-laki itu sekarang.

“Belum selesai juga?” tanya Arlan sembari membagi-bagikan es dua ribuan di tangannya kepada mereka satu persatu.

“Masih bisa nanya lo?” sewot Bastian usai meraih kasar minuman dingin yang Arlan berikan padanya.

“Minimal makasih,” cerca Farel kemudian menarik satu kursi ke samping Aksara.

“Kenapa rasa jeruk peras sih?” omel Daren. “Enggak ada yang lebih buruk dari ini?” sarkasnya lalu menyedot rakus air miliknya.

Perkataan Daren barusan memancing lirikan sinis dari Aksara. “Lo minum juga ujung-ujungnya,” sindirnya lantas menanggalkan seragam cokelatnya, menyisakan kaos oblong hitam melekat di tubuh atletisnya. Marsel melakukan hal yang sama tak lama setelah Aksara.

“Suka-suka gue,” balas Daren tak kalah sewot dari yang tadi. Ditatapnya sendu kertas jawabannya yang masih kosong. Ia acak rambutnya putus asa kemudian mendongak. “Please Lan, bantuin gue.”

Arlan memutar bola mata. Padahal membuat cerpen tidak sesulit itu, tapi kenapa mereka semua sepusing ini? Dirinya saja hanya butuh waktu lima belas untuk selesai. Sial. Benar-benar sialan. Ingin sekali Arlan bersikap tidak peduli, tapi tatapan memelas yang Daren layangkan padanya mendatangkan rasa ibanya.

“Nah gitu dong. Lo memang sahabat sejati gue,” puji Daren setelah Arlan menempati kursi kosong di sebelahnya.

“Najis!” Arlan tepis kasar tangan Daren yang menepuk-nepuk bahu kanannya. “Jangan sentuh gue kalau gak mau leher lo gue patahin.” Arlan menghardik. Ia beri Daren tatapan menusuk bak musuh bebuyutan.

“Lo gak bisa bantuin satu orang doang begini dong Lan. Nasib kita-kita gimana?” Bastian menggebrak meja lantaran tidak terima dengan sikap pilih kasih yang Arlan miliki.

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang