CHAPTER 28

37K 2.4K 38
                                    

Entah berapa lama Nola sibuk termenung memperhatikan keluwesan dua pekerja dalam mengelola kedainya. Sejak pemberitaan Malik meramaikan media, jiwanya seakan tersedot menyelami samudera.

"Mbak, nggak apa-apa?" tanya Fany berdiri mendekat dengan ekspresi khawatir.

Bukan tanpa alasan Fany berpikir bosnya sedang dikondisi tak fit, pasalnya sudah setengah jam Nola hanya duduk berdiam seolah gairah hidup tengah tenggelam. Padahal, baru-baru ini media dikagetkan perihal mantan suami bosnya yang sampai sekarang Fany masih tak menyangka Bapak Malik benar-benar resmi mengikuti jejak orangtua.

"Aku buatin teh anget ya, Mbak," ulangnya ketika Nola hanya tersenyum tipis seperti biasa.

"Udah bantu Bagas aja. Aku belum haus," sahut Nola.

Mendapat penolakan terlebih Nola menampilkan mimik baik-baik saja. Fany tersenyum lega. Mungkin memang bosnya sedang dikondisi tidak mood pikirnya.

"Oke, Mbak!"

Melihat Fany kembali menemani Bagas di depan. Nola menyandarkan punggung ke kursi. Jemarinya sesekali memijit pelipis, jujur ia merasa aneh akan perasaannya yang susah diajak kompromi.

Ia akui, ada setitik keinginan kehadiran minimal penjelasan, sebuah alasan yang masuk akal mengapa lelaki itu berakhir melanggar.

Namun, pemikiran tersebut harus cepat-cepat ia tepis mengingat pria itu sudah pasti disibukkan agenda panjang. Terutama masa kampanye mendatang. Mendadak Nola merasa kesal saat membayangkan Malik lebih sibuk dan tidak akan memiliki waktu untuk sekadar kembali bertandang.

Sebagai perempuan yang sejak lahir diciptakan memiliki sisi rentan, semarah dan sekecewa apapun hatinya, ada sebuah pengharapan agar pria tersebut berakhir kembali datang, saling bertatap muka serta mengakui kesalahan. Sebuah obat bagi perempuan ketika dilanda kekecewaan mendalam.

Sebal batinnya justru larut pada hal yang bukan keharusan. Nola memilih bangkit ikut membantu kedua karyawan. Malam ini, kedai sedikit sepi. Hanya beberapa pelanggan yang beli, sisanya lebih memilih kabur ke warung depan. Bakso selalu menjadi opsi saat gerimis mengundang.

"Memang benar ya, Mbak. Rezeki itu naik turun," celetuk Fany saat kedai kembali sunyi. Pembeli terakhir juga terlihat mulai bergerak mengemudi.

Nola yang tadinya sibuk mengecek persediaan bahan baku di rak belakang, segera mengakhiri sesi penggeledahan.

"Mau satu dua orang yang datang. Harus tetap disyukuri," jawab Nola mendudukkan diri ke kursi. Sekarang mereka duduk berhadapan bertepatan Bagas ikut bergabung usai mencuci tangan.

"Oh ya, gimana perasaannya Mbak waktu Pak Malik mencalonkan diri jadi cagub?"

Pertanyaan Fany terdengar menohok relung hati. Nola sekejap tersenyum keki.

Fany yang belum sadar reaksi bosnya, kembali melanjutkan ucapannya. "Pasti Mbak dijadikan tim suksesnya."

Bagas yang menyimak lantas mengangguk setuju. Pernah merajut bahtera rumah tangga, sudah pasti bosnya mendukung penuh keputusan mantan suaminya.

"Tim sukses?" tanya Nola memastikan, dan diangguki sang karyawan.

"Aku justru baru tahu Mas Malik maju pilgub."

Pengakuan tersebut menimbulkan reaksi heran sekaligus bingung. Fany yang paling ceplas-ceplos sigap menyela. "Lho?! Kok bisa? Padahal Pak Malik dekat sama Mbak. Malah aku kira Mbak jadi tim suksesnya, secara waktu itu Pak Malik datang ke rumah."

Merasa pening lagi-lagi membahas hal yang tidak perlu, Nola berdehem kaku. "Kami udah nggak ada lagi hubungan, Fan. Datang ke rumah bukan berarti berbicara hal politik."

Let It Flow [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang