4

93 16 6
                                    


Heyoww!
I'm back!
Sorry banget lama gak up, hehe.
Masih ada yang nunggu cerita ini nggak?
Kalo ada, kalian komen biar aku semangat up-nya
-
-
-
-
-
DIMOHON UNTUK TIDAK MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬ ⏩
.
.
.
"Semakin tertutup, semakin membuatku penasaran"

~^°°••°°°~

"Bulan depan Mama janji, Sayang!" ucap Rena melalui WhatsApp video call yang tersambung.

Di hadapan laptopnya Nara tampak murung mendengar perkataan sang ibu. Sudah tiga bulan berlalu ia ngekost sendirian di Jakarta. Setiap hari yang selalu didengarnya adalah kata nanti dan nanti yang diucapkan oleh Rena.

"Kalo bulan depan Mama nggak pulang juga, lebih baik Mama nggak usah pulang sekalian!" Nara menutup sambungan teleponnya tanpa menunggu tanggapan dari Rena.

Ia mendengus kasar lalu bangkit dari duduknya. Di dalam apartemen itu Nara melangkah mendekati jendela yang masih tertutup gorden. Gorden polos nan tebal itu dibukanya. Pemandangan yang disertai udara segar tampak di pagi hari.

"Mbak, ini obatnya. Sekali lagi saya minta maaf!"

"Itu buku saya."

"Nara. Hm."

Kalimat-kalimat itu kembali muncul dalam benaknya. Sudut bibirnya perlahan melengkung begitu mengingat sosok laki-laki yang sekarang dikaguminya.

"Makasih, Mbak."

"Panggil gue Nara aja. Nggak usah pake Mbak!"

Kali ini kalimat yang muncul membuat senyumnya memudar. Pikirannya menganggap bahwa kalimat itu tidak cukup baik untuk dilontarkan pada Neithen.

"Gue nggak suka dipanggil mbak, tapi harusnya gue menerima panggilan itu dari lo, Ney," batinnya berkata seraya melangkah.

"Dasar bodoh!" gumamnya lalu berjalan meraih tas ranselnya. Ia kemudian bergegas keluar dan mengunci pintu.

Hentakan kakinya terdengar menuruni tangga. Tampak terburu-buru karena taksi yang dipesannya sudah hampir mencapai tujuan.

"Nara!" Seseorang memanggilnya, sontak ia menoleh mencari titik suara.

"Elo!" gumamnya sedikit kaget karena lelaki itu telah berada di hadapannya dengan sebuah motor. "Ngapain lo di sini?" tanyanya terkesan malas.

"Ngajak lo bareng lah, ngapain lagi?" sahut Nesta berkata sejujurnya.

"Sorry, gue udah pesen taksi!" jawabnya ketus.

"Batalin aja."

"Gak bisa. Taksinya udah mau sampe."

"Kali ini aja lo mau, Na!" pinta Nesta sedikit memaksa.

"Nggak bisa. Sorry! Itu taksinya udah sampe." Lagi-lagi Nara menolaknya seraya melambaikan tangan pada taksi yang menuju ke arahnya.

"Nara!" panggil Nesta.

Nara tak menghiraukan. Gadis itu melangkah untuk membuka pintu mobil begitu taksi berhenti di depannya.

"Tunggu dulu!" Nesta turun dari motornya, lalu melangkah mendekati sang sopir.

"Taksinya gak jadi. Ini saya bayar ongkosnya. Mohon maaf sebelumnya. Makasih, Pak." Nesta berucap pelan pada sopir taksi seraya memberikan sejumlah uang dan memintanya untuk pergi.

"Lo apa-apaan, sih?!" Nara berdecak kesal membuang muka malasnya.

"Kali ini gue maksa," kata Nesta.

"Terserah!" Malas untuk berdebat, Nara memilih pergi dan meninggalkan laki-laki itu begitu saja.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang