"Rubi ... "
"Rubi ... "
"Kamu sudah tidur?"
"Rubi, hei. Benaran tidur, ternyata."
Jonatan mendekat setelah meletakan handuk yang digunakan untuk mengeringkan rambut pada keranjang pakaian kotor. Ia menaiki ranjang lalu ikut bergabung bersama Rubi yang telah terlelap. Jonatan memeluk sayang Rubi dari belakang. Tak lupa ia mengendus wangi tubuh istrinya.
Sementara Rubi, mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Sebetulnya ia tidak tidur. Mungkin tidak bisa! Ia tertekan oleh semua fakta yang baru diketahui sore tadi.
Berulang kali Rubi harus mengingatkan diri bahwa sikap manis Jonatan terbentuk akibat rasa belas kasihan. Sedang ia tidak membutuhkan itu. Yang ia inginkan adalah perasaan tulus Jonatan. Tapi, tidak bisa! Pada dasarnya, Jonatan tidak pernah menaruh sedikit perasaan terhadapnya. Sialnya, Rubi sudah terlanjur berharap lebih dari setiap perlakuan hangat Jonatan akhir-akhir ini.
Jonatan menarik napas panjang sambil mengetatkan pelukan. Ia memejamkan mata yang mana berakhir tertidur pulas. Berdekatan dengan Rubi, ia seakan disuruh untuk tertidur lelap. Dan itu benar-benar terjadi akhir-akhir ini.
Rubi membuka mata setelah dirasa Jonatan tertidur. Rubi bisa merasakan hal itu lewat suara dengkuran Jonatan.
Tiba-tiba tetesan demi tetesan air mata berjatuhan dari sudut matanya. Rubi tidak bisa untuk tidak menangis. Kebenaran itu memukul sekaligus mengejeknya. Setidak peka inikah dirinya selama ini sampai ia tidak menyadari hubungan Neta dan Jonatan?
Saat Rubi mulai tak sanggup mengontrol suara tangisan, cepat-cepat ia membungkam mulut menggunakan kedua tangan. Ah, ternyata ia dibunuh oleh orang-orang terdekat. Semiris inikah hidupnya?
Sampai pagi menjelang Rubi tidak bisa tidur. Ia banyak menangis akibat memikirkan semua masalah yang tengah minimpahnya.
Sebelum Jonatan bangun, Rubi bergegas menuruni ranjang lalu menutupi kesedihannya dengan membasuhi wajah menggunakan air dan sabun. Setelahnya ia cepat-cepat keluar kamar.
Rubi tidak yakin bisa kuat dan tegar menatap wajah Jonatan. Saat ini, ia benar-benar tidak bisa berkamuflase seperti lalu-lalu. Rasa sakit yang ia tanggung kali ini di luar perkiraan. Ia sangat amat terluka sehingga ia sendiri sulit untuk memaksa tersenyum karena ia tahu, hanya akan ada air mata di sela-sela senyuman itu.
"Pagi, Bi," sapa Rubi saat menemukan bi Mina yang tengah memasak di dapur.
Paruh baya itu menoleh cepat. Raut cemas langsung ia tunjukan secara terang-terangan ketika melihat wajah sembab majikannya. "Pagi, Non. Itu ...," bi Mina gelagapan. Ia bingung harus bertanya seperti apa mengenai kondisi majikannya. Rubi kelihatan sedih namun ia sengaja menutupi itu lewat senyuman.
"Kalau kak Jo bangun terus cari aku, bilang saja kalau aku lagi cari angin sengar di luar." Intruksi Rubi yang langsung diangguk patuh oleh bi Mina. Meski paruh baya itu sangat dibuat penasaran akibat penampilan sedih majikannya.
Apa kedua majikannya bertengkar? Padahal mereka baru kelihatan akur belakangan ini.
"Baik Non." Mendengar jawaban bi Mina, Rubi langsung membawa langkah keluar dari rumah. Ia berjalan tanpa arah sambil ditemani isak tangis. Rubi merasa hancur. Hidupnya benar-benar dipermainkan. Kenapa banyak kebenaran seolah sengaja disiapkan untuk melukainya? Belum kelar masalah yang mana mengatakan ia bukan anak kandung mama Alisa. Sekarang tambah lagi masalah lain mengenai Neta dan suaminya yang adalah kekasih. Ia harus apa untuk keluar dari setiap rasa sakit yang seolah-olah bersekongkol untuk menyerangnya?
Kenapa lagi-lagi Rubi seperti pencundang yang kerjanya hanya bisa lari dan bersembunyi dari masalah? Lebih parahnya, ia senjaga menutupi semua kebenaran yang ia tahu guna menghindari kehencuran hubungan mereka. Ya, ia tidak ingin bercerai sekalipun ia banyak dilukai!

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.
RomanceRubi, gadis yang baru menyelesaikan studi perguruan tinggi, mendadak dilamar oleh lelaki yang bukan lain adalah Jonatan, sahabat dari sang kakak, Raditia. Dalam berumah tangga, Jonatan adalah sosok suami hangat yang penuh perhatian. Sebagai pasanga...