Bab 17

11.2K 407 5
                                        

Selama ini Jonatan keliru. Ia terlalu meremahkan Rubi tentang banyak hal. Ternyata Rubi adalah sosok yang rumit. Ia selalu bersembunyi di balik topeng senyuman. Sehingga tidak ada yang tahu sebetulnya apa yang dirasakan wanita itu. Bahkan Jonatan yang tinggal cukup lama bersamanya tidak tahu apa-apa tentang Rubi.

Sepanjang malam bahkan sampai saat ini Jonatan berusaha mengumpulkan setiap kepingan dari ucapan Rubi. Ia yakin ada hal penting yang telah ia lewatkan. Namun apa?

Mendesah keras, Jonatan melihat ke arah ponsel yang akhir-akhir ini sepi. Rubi benar-benar tidak mengabarinya. Akhir-akhir ini beberapa kebiasaan Rubi menghilang, Wanita itu tidak lagi karaoke. Jarang tertawa di dekatnya. Menggodanya. Menyambutnya pulang dengan seyuman. Terutama memberinya kecupan mendadak. Semuanya itu benar-benar tidak ada lagi seperti hari-hari yang lalu. Rindu? Entalah. Mungkin lebih tepatnya nyaman karena itu seperti kebiasaan. Maka dari itu, Jonatan merasa ada yang hilang.

Terdengar suara ketukan dan Jonatan menoleh, Ririn sang sekertaris melintas ke arahnya dan ketika berdiri di depannya wanita itu menunduk hormat."Maaf mengganggu, pak. Ini, buku nikah bapak," ucap Ririn lalu memberikan buku nikah ke arah Jonatan.

Lelaki itu menerima dengan bingung. Hal itu diperkuat oleh alis yang hampir menyatuh. Mengerti dengan kebingungan sang atasan, Ririn pun menjelaskan,"Jadi gini, pak. Minggu lalu Ibu datang. Saya tidak tahu persis seperti apa ceritanya tapi Aulia bilang ibu memberikan buku nikahnya sebagai bukti kalau bapak sama ibu sudah nikah. Alasannya biar ibu bisa masuk dan menemui bapak. Sayangnya, Aulia lupa mengembalikan buku nikah sama ibu."

Jonatan mencerna. Otaknya mulai dipaksa bekerja demi menggali kejadian di minggu lalu.

"Dan kami bertemu? Sepertinya tidak. Saya merasa tidak pernah bertemu istri saya."

"Eh ..., maaf pak. Kalau asumsi saya sepertinya ibu tidak jadi menemui bapak. Karena tidak lebih dari satu, dua menitan ibu balik dengan kondisi sedih meski tersenyum," sahut Ririn seadannya, seperti yang diamati.

Jonatan berdiri."Tunggu. Minggu lalu?"

Ia mendekati Ririn dengan tampang cemas."Minggu lalu? Kamu ingat kira-kira saya sedang bersama siapa di hari itu?"

Ririn menimbang. Tantu saja sedang mengasa otak untuk mengingat kejadian minggu lalu."Pak, Radit," sahut Ririn cepat dan penuh keyakinan.

"Rubi adikku. Sekalipun ibunya jalang. Nggak. Rubi adikku. Anak dari mama. Dia bukan anak wanita jalang. Ingat itu, Jo."

"Omong kosong."

"Sialan. Jangan bahas hal ini."

"Kenapa? Kenapa takut menyakiti wanita yang dengan tega menyakiti kalian?"

"Rubi nggak tahu apa-apa, sialan. Jadi, stop. Stop, bahas hal ini."

"Kamu suruh saya berhanti bahas hal ini. Sementara kalian membiarkan saya menikahi anak dari seorang pelacur rendahan? Kenapa rahasia sebesar ini kalian tutupi dari saya?"

"Sudah aku peringatkan, Jo. Rubi adik aku. Dia bukan anak seorang pelacur. Jadi, nggak ada yang perlu kami ceritakan ke kamu. Tolong tanamkan ini dalam otakmu! Rubi adik aku! Dan Rubi juga istri kamu, sialan!"

"Saya menyesal. Sekarang saya merasa benar-benar menyesal menikahi Rubi."

Jonatan tertampar setelah mengingat obrolan di waktu itu. Dadanya seketika bergemuru.

Rubi!

Oh, Tuhan.

"Kamu yakin?" Jonatan bertanya penasaran dan frustasi di waktu bersamaan.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang