Bab 16

12K 423 6
                                        

Tak lama setelah kejadian itu terjadi, dokumen perceraian langsung diurus oleh Williem, pengacara pribadi Jonatan.

Lelaki itu ingin menyederhanakan segalanya. Bukankah, sejak awal hubungan mereka memang tidak sehat? Lagi pula, tidak ada yang diharapkan dari hubungan ini.

Sampai sekarang Jonatan bahkan belum merasa memiliki Rubi sebagai istrinya. Jika cinta tak kunjung muncul, sepertinya perceraian adalah solusi terbaik.

Untuk apa mempertahankan sesuatu yang tidak sepantasnya dipertahankan.

Keputusan Jonatan ingin menceraikan Rubi sudah sangatlah tepat. Lebih baik berpisah di awal sebelum ada yang terluka dengan alasan-alasan klise seperti satu kata yakni nyaman. Lalu di susul mencintai.

Sejatinya Jonatan mulai ragu dengan dirinya. Di saat ia merasa yakin dengan keputusannya. Saat itu juga ia tampak gelisah. Kerap kali ada beberapa hal yang mengganggu pikiran. Tantu saja itu sangat berkaitan erat dengan istrinya, Rubi.

Tanpa sadar Jonatan mulai terbiasa dengan kehadiran Rubi dalam sepinya kehidupan yang ia jalani selama ini. Senyuman dan tawa hangat wanita itu telah menjadi penyemangat di kala lelah dan letih menempeli diri. Sayangnya Jonatan tidak ingin terus-menerus bergantung pada Rubi. Ia merasa lemah. Mungkin dengan bercerai, ia bisa merasakan hidup seperti semula, tanpa sebuah ikatan dan ketergantungan terhadap orang lain.

Lambat-lambat Jonatan menatap dokumen perceraian yang sementara di pegang. Ia yakin jikalau keputusan yang diambil sudah sangatlah tepat.

Menarik napas dalam, Jonatan lalu membuka laci meja kemudian menaruh map yang di dalamnya berisikan surat cerai, setelahnya ia mengunci rapat laci tersebut.

Jonatan merasa jika sekarang bukan saat yang tepat untuk memberikan dokumen perceraian itu. Mungkin, apabila telah menetapkan hatinya ia akan menyerahkan dokumen ini pada Rubi.

Menyandarkan tubuh pada kursi kerja, Jonatan menengadah, melihat langit-langit ruangan.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu yang disusul dengan masuknya sosok wanita yang bisa dibilang berhasil membuat Jonatan kalut dan pikiran berhari-hari, Rubi.

Ya, sosok ceria yang dipenuhi senyuman hangat, yang meski disakit hanya dibalas senyuman.

Kadang Jonatan berasumsi jika Rubi adalah sosok yang tidak memiliki ambisi dan tujuan hidup meski ia termasuk dalam golongan wanita yang keras kepala dan mandiri.

Seperti biasa, Rubi memberikan senyuman termanisnya. "Boleh aku masuk? Sayangnya aku sudah masuk." Rubi nyengir. Kadang-kadang ia memang suka melakukan sesuatu terlebih dahulu sebelum mendapat izin dari orang bersangkutan.

"Ya, memang kamu sudah masuk terlalu jauh." Jonatan tersenyum. Ada makna tersirat dalam kalimatnya.

Rubi mengernyit."Kalau nggak salah, aku baru ngambil dua langkah. Sepertinya aku belum masuk terlalu jauh," balas Rubi seperti yang diamati. Karena ia memang baru mengambil dua langkah dari arah pintu ke dalam ruangan Jonatan.

Menatap intens, pelan-pelan Jonatan menyandarkan tubuh pada panahan kursi."Itu pencapaian terbesar kamu," aku Jonatan yang belum mengubah tatapannya, masih sama, intens.

Rubi bingung."Kamu sedang membicarakan hal lain?" tanya Rubi.

Jonatan menggeleng."Tidak. Ini masih tentang kita."

Rubi tersenyum bingung."Aku nggak ngerti."

"Saya pun sama, tidak mengerti," aku Jonatan sambil mengedikan bahu.

"Oke. Lupakan bahasan tadi. Dua minggu lagi ulang tahun mama. Bisakan kamu meluangkan waktu sehari? Cuma sehari. Ya, ya, ya?" Perlahan-lahan Rubi mendekat. Ia menatap penuh harap cemas. Berharap supaya suaminya menyetujui permintaanya.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang