Bab 15

12.4K 433 3
                                        

Jonatan menghentikan mobil di depan caffee shop. Ia membutuhkan sedikit waktu supaya mencerna setiap tindakan yang diambil. Jonantan sendiri tidak mengerti perihal rasa yang tengah menghampirinya. Baik tentang kemarahan ini. Rasa tak terima ketika mendengar suara-suara menyebalkan lelaki tadi. Tindakannya yang sering merendahkan Rubi. Sikap acuh tak acuhnya. Dan yang paling tak terduga adalah dirinya yang tiba-tiba menyusul Rubi ke sini. Ada apa dengannya?

Keluar dari mobil dan belum sempat melangkah, Jonatan melihat Rubi yang keluar bersama dua lelaki.

Tampak Rubi yang tengah asyik mengobrol bersama Miska dan Dika. Kedua lelaki itu sama-sama teman Rubi. Sama-sama memiliki peran penting dalam hidupnya. Jika Miska hadir untuk mendengarkan, Rubi. Maka, Dika ada untuk menghiburnya. Rubi sangat bersyukur memiliki teman-teman yang begitu peduli padanya.

"Kapan kamu sadar sih, Dik? Kelarin dulu kuliah kamu. Habis itu terserah deh kamu mau ngapain. Nggak takut apa kena DO? Udah cape-cape kuliah tapi pas akhir kamunya eror."

Rubi sebetulnya tensi. Bukan baru pertama kali nasehat yang sama keluar dari mulutnya. Tapi, berulang kali. Dika memang terlalu santai. Bahkan di saat Rubi dan Miska sibuk revisi skripsi. Dika justru sibuk dengan konsernya.

"Aman. Ini lagi usaha. Doain aja supaya si perawan tua cepat-cepat Acc biar aku naik ke pembimbing satu," jawab santainya. Betul-betul ciri khas Dika.

Rubi geleng-geleng. Si perawan tua yang Dika maksudkan adalah bu Dona. Dosen cantik yang memang belum memiliki pasangan hidup di umurnya yang sudah terbilang tidak muda lagi.

Miska menanggapi dengan senyuman ringan. Seolah paham akan sifat temannya itu.

Dika menarik napas panjang, menatap intens ke arah Rubi, menyebabkan wanita itu mengerutkan dahi, seolah-oleh meminta penjelasan.

Dika yang mendapati reaksi Rubi, tersenyum kemudian mengangkat tinggi cincin yang baru diambil dari saku celana.

Tadi, Dika dengan licik mengambil cincin Rubi dengan dalil meminjam. Rubi dengan bodohnya melepas cincin itu tanpa tahu kalau ada niat lain yang disembunyikan Dika."Nggak cocok di jari kamu. Pemberinya hanya memberi sebagai simbolis pernikahan tanpa campur tangan cinta di dalamnya, makanya longgar di jari kamu."

Rubi tersenyum sinis lalu memalingkan wajah. Dika paling suka membual.

Sedang Miska lagi-lagi hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.

Tiba-tiba Miska teringat akan sesuatu hingga ia memilih kembali ke dalam caffee shop."Aku ke dalam sebentar," bilangnya. Yang diangguk setujui oleh Rubi dan Dika.

"Apa kamu ada masalah, Bi?" Sejak tadi, bahkan sebelum tampil, Dika terus mengamati Rubi. Ada beberapa hal yang memang dirasa ganjil. Sebagai seorang teman, Dika hanya ingin memastikan keadaan Rubi.

"Nggak," sahut Rubi, memeluk dirinya sendiri.

Dika menggeleng pelan."Terlihat jelas, Bi. Mau dipoles seperti apa pun, senyuman itu. Kamu terluka."

"Aku merasa ada yang hilang. Kamu ...? entalah. Tapi, kini aku sadar, senyumanmu mulai meredup."

"Jika cincin ini membuatmu terluka. Maka, lepaskan. Bukankah itu artinya ukuran cincin ini kurang sesuai di jarimu?"

"Akan ada cincin lain yang tepat di jarimu setelah melepas cincin ini. Sepertinya kamu harus mencoba. Miska selalu mencin ..., "

Ucapan Dika terpotong akibat dorongan cepat dan kuat seseorang. Sekejap mata, tubuh Dika suduh menempel pada dinding kafe. Dan seseorang itu adalah Jonatan.

Rubi memekik kaget. Hal yang sama juga dilakukan pengunjunag lain yang memang melintas di depan mereka. Kejadian ini begitu cepat dan tiba-tiba.

"Kamu siapa?" Dika menggeram. Tidak ada yang tidak marah jika dihadapkan dalam situasi ini. Orang yang tidak dikenal tiba-tiba datang menyerangnya di tempat terbuka.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang