Bab 10

11.6K 382 2
                                        

Kini Rubi mengerti. Kemungkinan besar, Jonatan bukan cuma memilikinya. Ada wanita lain dalam rumah tangga mereka.

Apakah semua sikap Jonatan yang semacam tarik-ulur berfaktor atas wanita itu? Apa benar Jonatan memiliki wanita lain?

Sebetulnya ia agak sangsi. Jonatan yang ia kenal tidak banyak terlibat dengan perempuan. Bahkan tidak ada satu pun nama wanita yang didengar, yang dijadikan kekasih oleh Jonatan.

Bukan baru sekarang ia mengenal Jonatan. Tapi, bertahun-tahun lamanya. Mungkin, Jonatan sengaja mengatakan hal itu demi mematahkan hatinya? Ia harap begitu.

Rubi duduk termenung, memandang jauh keluar jendela. Tatapannya kosong. Sejenak, ia menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.

Sakit. Terluka. Kecewa. Marah. Menangis. Tidak berdaya. Lemah. Bodoh. Itulah perpaduan yang dirasakan. Ia tahu dirinya sedang terluka. Namun, ia tetap membiarkan diri jauh lebih terluka dengan bertahan di sisi Jonatan, lelaki yang dengan tidak berperasaan mendatangkan luka nyata untuknya.

Rubi selalu menyimpan dalam diam setiap rasa sakitnya. Ia menutup kebohongan dengan senyuman. Ya, Rubi sampai sekarang masih berkamuflase. Ia betah dengan semua sayatan-sayatan yang didapat oleh orang-orang yang ia cintai.

Perihal-perihal mengenai sikap Jonatan, selalu dipendam sendiri. Tiap-tiap waktu tertentu ia baru akan mengeluarkan rasa sesak di dada melalui kepingan demi kepingan air mata. Ada kalanya ia merasa tidak sanggup menjalani kehidupan yang tengah diperankan. Terlalu sangat melukai. Ia tidak kuat!

"Kamu jahat, kalau seandainya benar punya wanita lain. Apa ini usahamu? Mana janjimu? Aku selalu menunggu janjimu. Namun, yang aku dapati justru rasa sakit."

"Tapi bodohnya aku nggak bisa berpaling barang sebentar. Dan justru membiarkan hatiku semakin dilukai."

"Kamu seperti misteri. Sulit ditarik garis kebenarannya. Sewaktu-waktu kamu manis dan penuh perhatian. Sewaktu-waktu pula kamu begitu kasar dan menyakitkan."

"Apa karena ada wanita lain? Aku harap itu sekedar bualan. Tapi, aku mulai takut."

Rubi memeluk dirinya sendiri sambil mencurahkan isi hati entah kepada siapa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Selain dirinya dan kesunyian.

"Kini aku semakin bergerak ke dalam rasa sakit. Dengan terus mencintaimu, maka rasa sakit itu akan terpampang nyata."

"Aku harus bagaimana?"

"Aku sudah cukup terluka. Tolong, jangan biarakan aku semakin terluka."

Air mata perlahan-lahan luruh dari kedua sadut mata, tak menyangka jikalau ia secengeng ini bilamana menyangkut Jonatan. Ini seperti buka diriya. Rubi yang ia kenal adalah sosok yang tangguh dan tegar.

Kemudian, untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, ia menghapus jejek-jejek air mata, menarik napas dan membuangnya berulang kali guna menetralkan perasaan.

Berhasil menyingkirkan sedikit demi sedikit kesedihan hati, ia beranjak bangun dan membawa langkah ke dalam kamar. Lalu setelahnya bergegas ke kamar mandi.

Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya Rubi keluar dari sana.

Setelah dirasa dirinya siap, ia mengambil tasnya lalu bergerak keluar dari sana.

"Bi, aku keluar sebentar."

Begitu melintasi ruang tengah, Rubi menemui bi Mina yang sedang bersih-bersih sehingga ia memberitahu perihal kepergiannya.

Bagaimanapun ia telah menganggap bi Mina sama seperti orang tuanya sendiri.

Setelah mendapat anggukan dari bi Mina, tanpa berlama-lama Rubi pergi dari sana

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang