Dalam perjalanan, tidak ada yang membuka topik demi mengusir kesunyian. Rubi terlalu larut dalam pikirannya sampai-sampai ia lupa kalau ada seseorang yang sedang bersamanya.
Sementar Jonatan justru membiarkan kesunyian itu melanda guna mengurangi tekanan pikiran sang istri. Ia cukup mengerti dengan kondisi hati istrinya. Rubi butuh ketenangan. Butuh energi dengan menghilangkan kebisingan sejenak.
Sesekali Jonatan melirik dan memastikan keadaan istrinya. Rubi masih diam. Masih sibuk dengan pikirannya. Masih sibuk memandangi jalan dengan tatapan hampa.
Mungkin, Jonatan bukan suami yang baik. Bukan suami yang dilantik atas dasar cinta. Namun, ia akan berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang suami yang akan melindungi istrinya. Bagaimanpun ia sendiri yang memilih Rubi sebagai istrinya. Sudah seharunya ia melindungi Rubi.
"Saya bisa menjadi pendengar yang baik jika kamu mau berbagi cerita," seru Jonatan, melirik untuk kesekian kalinya ke arah istrinya.
Untuk pertama kalinya Rubi merasa tertarik untuk memandangi objek lain, tentu saja suaminya. Sesaat Rubi tersenyum simpul. Lalu berpaling secara penuh ke arah Jonatan. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya dari arah samping."Terima kasih. Dan maaf, aku bukan seorang pendongeng yang baik yang mampu menarik simpati seseorang. Bukankah dalam setiap kesempatan aku hampir mendongeng? Lantas adakah yang mendengarkan? Mempercayai dongengang itu?"
"Lupakan!"
"Aku mau tidur." Rubi memejamkan mata. Berharap dengan begitu Jonatan akan bungkam. Ia tidak ingin memperpanjang hal sepele yang kemungkinan bisa berubah menjadi pertengkaran.
Lagi-lagi kesunyian kembali menaungi mereka. Jonatan tidak berkata-kata setelah sang istri seakan-akan menyuruhnya diam.
Setelah puluhan menit menempuh perjalanan, akhirnya mobil yang membawa mereka terparkir pada halaman rumah berlantai dua.
Kemungkinan karena suasana hati yang kurang bagus, Rubi tidak begitu antusias melihat rumah mewah di depannya. Padahal setiap kali memikirkan mengenai rumah baru, Rubi sangat amat antusias. Mungkin, saat ini gairah hidupnya sedang meredup. Ada sebagai dalam dirinya seolah-oleh menghilang tanpa diketahui sang pemilik.
Begitu mobil berhenti, tampak seorang wanita paruh baya berjalan keluar dari dalam rumah lalu menghampiri mereka.
Saat Rubi melangkah keluar mobil, paruh baya itu menatapnya dengan binar antusias."Welcome home, nyonya, tuan," sapanya, seramah mungkin.
Runi menanggapi dengan senyuman. Ia merasa tak enak hati kalau sampai tidak membalas sapaan paruh baya di depannya. Apalagi parah baya ini tampak bahagia dengan kedatangan mereka.
"Bi, maaf. Bisa tunjukan di mana kamar kami. Saya ingin tidur."
Mina menatap bingung. Setelahnya ia mengangguk kikuk. Memang betul, nyonyanya kelihatan tidak sehat. Wajahnya pucat. Meski memaksa tersenyum, wajah pucatnya lebih mendominasi.
Cepat-cepat Mina membawa mata ke arah tuanya. Sang tuan lantas mengangguk, menyetujui permintaan yang diinginkan sang istri.
Merasa mendapat izin dari sang tuan, Mina lekas-lekas membawa nyonyanya ke arah kamar yang telah disiapkan.
"Mari, Nya." Mina mempersilahkan sambil berjalan duluan untuk menunjukan arah kamar untuk sang nyonya. Lebih-lebih ini kali pertama nyonyanya menginjakan kaki ke rumah ini.
"Silahkan, Nya," bilang Mina sambil membuka pintu kamar.
"Terima kasih, Bi." Mina dibuat terkejut. Pasalnya sang nyonya memeluknya erat. Seperti pelukan seorang putri kepada ibunya. Mina merasakan ketulusan sang nyonya lewat pelukan hangat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.
RomanceRubi, gadis yang baru menyelesaikan studi perguruan tinggi, mendadak dilamar oleh lelaki yang bukan lain adalah Jonatan, sahabat dari sang kakak, Raditia. Dalam berumah tangga, Jonatan adalah sosok suami hangat yang penuh perhatian. Sebagai pasanga...