Bab 3

9.6K 353 10
                                        

Rubi termenung dan memandang kosong ke luar jendela. Pikirannya sedang berkelana sedang hatinya mencoba berdamai dengan semua hal yang terjadi.

Tanpa sadar, dua jam sudah Rubi duduk termenung seperti orang bodoh pada Caffee shop milik Miska, sahabat yang memang selalu siap menerimanya dengan tangan terbuka.

Begitu melihat Miska mendekat dan membawa sekotak makanan Rubi tersenyum mengejek."Ahh ..., kenapa kamu pekanya lama, Ka. Aku dari tadi nahan lapar tahu," keluh Rubi sambil memegang perut lalu menyandarkan tubuh pada penahan kursi. Mukanya dibikin sesengsara mungkin. Minta diperhatikan.

Miska justru mentertawakan tingkah Rubi. Temannya memang paling suka drama."Nih makan. Nggak enak lihat muka kamu kayak gitu," ejek Miska sambil meletakan nasi kotak di depan Rubi.

Dengan perasaan senang, Rubi mengambil nasi kota itu lalu menyingkirkan kantong plastik dan mulai membukanya.

"Coba aja, nih dada berdetak buat kamu. Pasti aku jadi wanita yang paling beruntung."

Rubi memasukan sesuap nasi ke mulut. Sejenak ia menghentikan kegiatan lalu menatap Miska yang setia menonton, seolah dirinya adalah selebriti ternaman.

"Sialnya dadaku cuma berdetak buat orang yang ..., " Rubi menjeda. Memikirkan kata yang tepat agar menyempurnakan perkataanya.

"Apa pernah kamu berpikir kalau bisa jadi bang Jo punya tujuan lain di balik itu semua?" Kontan Miska bertanya, namun dengan penuh kehati-hatian. Ia cukup memahami kondisi hati Rubi. Sahabatnya bagitu rapuh. Namun, hebatnya setiap luka dipasang oleh tembok senyuman yang  selalu sukses menyakinkan orang lain.

Rubi menarik napas berat."Ya. Sering malah. Tapi mau bagaimana lagi? Aku cintanya sama, kak Jo. Jadi, aku terima-terima saja lamaranya," Rubi menyahut seadanya. Walau baru setengah kebenaran.

"Aku tahu, Bi. Kamu mau cepat-cepat bebas juga'kan dari keluarga kamu makanya lamaran Bang Jo kamu terima?" tebak Misak. Dan tebakan itu cukup menyempurnakan alasan Rubi menerima lamaran Jonatan. Selain karena mencintai lelaki itu. Rubi juga ingin menggunkan lamaran tersebut sebagai alternatif untuk keluar dari keluarganya. Rubi merasa mentalnya tidak kuat jika berada lama dekat keluarganya. Lebih-lebih mama serta kak Neta.

Rubi menarik napas panjang lalu tersenyum kecut. Ia mendadak hilang nafsu makan. Rubi sedikit menggeser kotak makanan lalu memusatkan diri pada Miska.

"Ka, apa aku berlebihan? Aku cuma mau diakui sama mama. Aku memang bukan kak Neta yang serba berguna. Aku ..., " Rubi menunduk, menyembunyikan senjenak kerapuhan hati. Lebih tepatnya menetralkan diri sejenak agar terhindar dari yang namanya menangis. Rubi sudah bertekad agar tidak menangis.

"Aku nggak suka disalahkan. Lebih-lebih dibandingin. Selama ini aku sudah mengusahakan yang terbaik buat mama. Tapi, mama selalu tutup mata seolah-olah nggak lihat usaha aku. Udah gitu, nanti aku dibading-bading sama kak Neta. Dan ujung-ujungnya aku yang salah."

"Aku punya hati, Ka. Aku punya perasaan."

"Aku nggak suka diabaikan karena sejak awal mereka membekaliku dengan kasih sayang. Namun, pada akhirnya mereka justru mengacaukan segalanya dengan membagi kasih sayang pada orang-orang tertentu."

"Mungkin dulu, aku nggak cukup peka terhadap sikap tak adil mama. Untuk itu, aku nggak menaruh hati dan menjadikan hal itu sebagai hal yang biasa. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan usia, aku mulai sadar dan mengerti kalau aku diperlakukan cukup berbeda. Diam-diam aku sering memperhatikan sikap mama. Kok sama aku beda. Sama kak Neta beda. Aku terus bandingin hal-hal kecil itu hingga aku menyimpulkan kalau aku sepertinya nggak diiginkan."

"Bi," Miska menegur lembut. Ia tidak suka ketika Rubi berasumis yang bukan-bukan. Miska tidak ingin hal buruk mengacaukan pikiran Rubi yang berakibat pada hal yang tidak diinginkan.

Bukan Sekedar Pelampiasan Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang