38. RUANG UNTUK RASA

86.4K 5.1K 2.5K
                                    

38. RUANG UNTUK RASA

Belasan kali Alana pukul kepalanya sendiri ketika bayangan di mana dia mencium Marsel lebih dulu muncul tiba-tiba. Terkadang jidatnya juga dia benturkan ke dinding secara pelan kala sentuhan hangat serta sapuan lembut dari bibir maupun lidah Marsel pada beberapa bagian tubuhnya masih terasa begitu nyata. Belum lagi ia selalu meremang mendadak saat telinganya seperti mendengar bisikan serak Marsel yang menggumamkan namanya lengkap dengan helaan napas beratnya yang memburu cepat.

Berangsur-angsur semua kejadian yang mereka lakukan satu malam penuh teringat jelas, Alana sampai panas dingin dibuatnya.

Bahkan ketika Alana memakai seragam sekolahnya, sebelum ia mengancing baju putihnya, Alana menyempatkan untuk berteriak lalu menjambak rambutnya kuat-kuat sebab bayangan mata sayu Marsel semalam seolah berkata bahwa lelaki itu mati-matian menahan hasrat, hanya karena remasan yang tangannya berikan pada otot lengannya.

Di tengah kefrustrasiannya gadis itu masih sempat melakukan pengharapan. Sebuah andaian konyol yang terkesan tidak masuk akal. Alana sangat berharap dengan menjambak, memukul, dan membenturkan kepalanya, makhluk jahat yang mendiami tubuhnya akan segera keluar lewat ubun-ubun. Lantaran terlalu malu sekaligus tidak percaya dengan apa yang dia perbuat semalam dalam keadaan sadar Alana jadi sibuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa malam tadi ia kerasukan arwah gentayangan wanita mesum.

Beruntung saat membuka mata di jam setengah lima pagi Alana tidak mendapati keberadaan Marsel yang tertidur di sebelahnya sembari memeluk pinggangnya erat seperti adegan dalam novel romansa yang sering dia baca. Berulang kali Alana ucapkan syukur dalam hati ketika bangun dari tidurnya dan di kamar hanya terdapat dia seorang tanpa ada Marsel bersamanya. Sebab Alana tidak tahu apa jadinya kalau dia harus berurusan lagi dengan Marsel ketika nyawanya belum terkumpul semua.

Entah pria itu meninggalkannya subuh-subuh atau Marsel keluar dari kamarnya setelah dirinya terlelap pukul tiga dini hari Alana tak tahu dan tak mau tahu. Perutnya mual mengingat bagaimana dia menikmati satu permen mentos tersebut bersama Marsel secara bergantian dalam ciuman mereka.

Alana rela dan merasa pantas terkurung satu minggu di gudang belakang sekolah supaya jera lalu bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Meski ia berada keadaan mabuk sekalipun. Alana sampai tidak punya nyali untuk berkaca sebelum keluar dari kamar, tak sanggup ia lihat wajahnya sendiri, perempuan gila, tolol bin bodoh yang menjadi pemicu awal berakhirnya mereka berdua di tempat tidur hanya gara-gara nafsu sesaat.

Selama kedua kakinya melangkah meninggalkan kamar menuju ruang makan untuk sarapan tangan Alana tidak henti-hentinya memilin tali tas sandangnya. Sesekali juga ia lirik cemas jam tangan silvernya. Baru pukul enam lewat tiga puluh dua menit. Masih terlalu pagi, rasanya tidak mungkin Marsel sudah berkeliaran di saat kokokan sayup ayam tetangga masih terdengar.

Tapi tetap saja Alana tidak tenang. Bukan hal mustahil pula kalau dia akan berpapasan dengan cowok itu bila mengingat salah satu dari sekian banyaknya hobi buruk yang dia punya—tak menutup kemungkinan juga Marsel akan muncul tiba-tiba layaknya jelangkung seperti yang sudah-sudah.

Demi apapun jangan sampai hal itu terjadi, bisa-bisa dirinya malah kena serangan jantung mendadak. Sekarang saja dalam dadanya sudah berdetak tidak wajar karena parno dengan sekitar. Keadaan bangunan mewah ini betul-betul hening, bak tak ada kehidupan di dalamnya. Alana yakin seumpama Marsel kejut hadir depan matanya mulutnya akan langsung berteriak spontan, sungguh ia tak berbual tentang itu apalagi berniat melebih-lebihkan.

Alana masih belum puas memaki dirinya sendiri kendati ia sudah tiba di ruang makan bersuasana hampa pun hening, persis seperti tempat lain yang tadi ia lalui. Tak banyak membuang waktu, bergegas ia duduk, terburu-buru menyambar sendok dan piring.

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang