Bab 2. Kawan Lama

1.5K 99 10
                                    

BAB 2. KAWAN LAMA

"Mega?" ucapku yang sontak membuat dua kawan di sampingku bengong. Pasalnya keduanya belum menunjukkan yang mana Mega, tapi aku sudah lebih dulu mengenali bahkan memanggil. Ya, memang kenal kok.

Iwan dan Angga langsung saling sikut tapi tidak ada yang berani menanggapi dan memilih untuk memperhatikan situasi yang terjadi. Wanita cantik dengan body goal itu duduk di hadapan mereka, tepatnya di hadapanku sih. "Aku tahu kamu kerja di sini, makanya aku ikut daftar," jelasnya tanpa diminta.

Aku yang masih loading karena sempat shock juga karena Mega yang dimaksud itu teman sekolahku dulu. Sampai Angga harus menyikut rusukku barulah aku sadar dan berdehem. "O-oh, gitu, tapi kenapa kamu sampai daftar ke sini hanya karena ada aku?" Aku heran juga mendengarnya. Memangnya urusannya ada aku apa coba?

Mega nampak tersipu. "Kan kita kawan lama, kalau ada kamu aku kan jadi punya teman. Nggak canggung dan nggak merasa sendiri juga."

"Loh, tapi aku udah nikah," jawabku jujur takut kalau Mega salah paham. Kan, aku nggak mau main api, ngeri terbakar, jadi lebih baik jujurkan?

Mendengar itu Mega justru tertawa yang membuat Iwan dan Angga terpesona. "Ya emang kenapa kalau kamu udah nikah, aku nggak bakal minta jadi istri kedua juga kali. Gila aja."

Aku langsung mengangguk saja. "Ya, kirain, kamu ngarep sesuatu gitu, kan aku ganteng." Semuanya sontak kompak berseru.

"Huuuuu kegantengan!!" Aku hanya terkekeh saja. Padahal emang ganteng kok, dasar kalian sirik.

"Oh ya, kenalkan ini teman-temanku, namanya Iwan dan Angga." Mereka pun saling bersalaman tapi tidak denganku yang memilih diam saja tidak menyambut tangan Mega.

"Kamu bawa bekal?" Mega bertanya lagi. Aku mengangguk saja sembari kembali makan bekal tersebut. "Buatan istri?"

"Iya."

"Oh, rajin ya istrimu, kamu pasti beruntung banget punya istri seperti itu, dulu waktu menikah aku tidak datang jadi tidak tahu seperti apa rupa istrimu." Panjang lebar ia berucap.

Aku meraih air minum dan meneguknya, menyudahi makan yang sudah habis dan membereskannya kembali. "Dia yang beruntung punya suami ganteng macam aku. Dan soal kamu nggak dateng wajarlah, kan nikahnya di rumah orang tua istriku, di jawab tengah, cukup jauh. Teman-teman sekolah juga nggak ada yang datang karena kejauhan."

"Kamu sih nyarinya yang jauh, padahal ada yang dekat."

"Nggak minat sama yang dekat, namanya juga jodoh." Aku menjawabnya dengan sebenar-benarnya, lagian kalau emang ada yang dekat pastilah milih yang dekat ngapain yang jauh, tapikan nggak ada yang aku suka dan dapatnya yang jauh.

Usai mengobrol kamipun kembali bekerja karena sudah waktunya.

Sorenya aku pulang seperti biasa walau rasanya malas akan sama seperti biasanya. Membosankan. Suara motorku nampaknya di dengar dua anakku. Mereka membuka pintu dan langsung berhamburan menyambutku, yah setidaknya ada pemandangan indah yang selalu membuatku semangat saat pulang. Mereka berebut memelukku. "Udah jangan berantem, Kakak, Adek." Aku menasehatinya.

Aku turun dari motor lalu menggendong Dimas sembari menuntun Aliyah yang sudah berusia 8 tahun tapi masih saja manja. Mungkin merasa di anak perempuan sendiri.

Begitu aku masuk, rumah sangat berantakan. Membuatku langsung menurunkan Dimas dari gendongan. "Mama ke mana?" tanyaku menahan emosi karena kesal dengan keadaan rumah yang bagai kapal pecah.

"Ke rumah tetangg sebelah tuh, Pah." Aliyah memberitahu.

"Ngapain?"

"Apa ya tadi kata Mama, Dek?" Aliyah bertanya pada Dimas yang tengah mengambil mainan mobilnya.

"Nggak tahu." Dimas angkat bahu membuat sang kakak kesal dan menjitak kepala adiknya. Sontak aku langsung melerai dan menasehati keduanya.

***

Aku masih menunggu kedatangan Fitri, sekitar lima belas menit ia akhirnya datang dengan Fikram yang sudah tidur dalam gendongan. Wajahnya nampak lelah sekali dengan kerudung langsung yang sangat tidak enak dipandang. "Dari mana kamu?"

Fitri perlahan menidurkan Fikram lalu duduk dengan mengatur nafas. "Hey, dari mana?" sentakku kesal tapi Fitri justru memberi kode agar diam dengan telunjuk tangan yang ditaruh depan bibirnya. "Apa sih, orang nanya kok malah suruh diam." Walau begitu aku menurunkan intonasi suaraku. Tentu saja menghormati Fikram yang sudah tidur.

"Aku habis bantu-bantu di rumah Ibu, Mas."

"Rumah Ibu?" Aku mengerutkan kening karena yang aku dengar dari Aliyah adalah sang ibu di rumah tetangga. "Tapi kata Aliyah kamu di rumah tetangga."

"Ya awalnya, tapi begitu mau pulang, aku ketemu Ibu, katanya minta tolong sama aku."

"Emang minta tolong apa?"

"Nyiapin makanan karena mau ada tamu nanti malam."

Aku memikirkan hal itu lalu dengan cepat menelpon orang tuaku. Bagaimanapun aku penasaran siapa tamu yang dimaksud sampai harus menyuruh istriku bantu masak segala. Seistimewa apa memangnya?

"Hallo, Bu?"

"Ya, kenapa, Hen?"

"Kata Fitri, Ibu mau nyambut tamu sampai masak banyak?"

"Haduh, istrimu ini bawel banget sih, tukang ngadu. Gitu aja pake ngomong. Kenapa, kamu nggak terima Ibu minta tolong istrimu?"

Aku melirik Fitri yang tengah meraih handuk lalu pergi dari dalam kamar. "Nggak Hendra yang tahu sama Fitri, bukan dia yang ngadu. Emang mau ada siapa sih sampai masak segala?"

"Duh, kamu tuh jadi Kakak emang nggak becus. Ituloh adekmu Intan, pacarnya mau datang ke sini."

Aku mengerutkan kening. "Datang mau ngapain, lamaran?"

"Iyalah."

"Loh, Ibu gimana sih, kalau Intan mau lamaran kok Ibu nggak bilang sama aku. Malah cuma suruh Fitri masak doang, kan kita harusnya datang, Bu."

"Ya kalau kamu memang harus datang, tapi kalau Fitri nggak ah. Ibu nggak mau,"

Aku makin heran saja. "Kenapa?"

"Kok pake nanya sih, lihat aja tuh penampilannya macam pembantu gitu, bau asem lagi. Ibu aja nggak betah lama-lama dekat dia. Kamu kok betah sih, ih, geli Ibu." Mendengar itu aku merasa apa yang ibu katakana benar. Bagaimana bisa kami membiarkan tamu melihat istriku, pastilah mereka akan risih dan malas karena menganggap kedatangan mereka tidak penting.

"Ya udah aku dan anak-anak aja yang datang."

"Terserah pokoknya jangan Fitri."

"Ya, Bu."

Saat aku menyudahi obrolan Fitri sudah kembali dengan tubuh dibalut handuk. Jujur saat berpenampilan begitu ia terlihat menggairahkan, tapi tetap saja mengingat bau asamnya membuatku muak. "Apa kata Ibu, Mas?" tanyanya sembari menuju meja rias yang kosong dari peralatan perempuan. Entah kenapa ia tidak pernah memakai make-up lagi seperti dulu.

Aku pun gegas ke lemari, mengambil kemeja dan celana panjang. "Mau ada acara lamarannya Intan."

Mendengar itu Fitri nampak kaget dan langsung menatapku yang tak jauh darinya. "Kok nggak bilang sama aku, ya sudah aku siap-siap juga."

Dengan cepat aku mencegahnya. "Nggak usah, kamu di rumah saja, penampilanmu yang jelek ini bagaimana bisa mau datang diacara penting. Mau bikin malu aku?"

Fitri langsung terdiam, ia melirik dirinya pada cermin. Seburuk itukah dirinya?

ISTRIKU TIDAK MENARIK LAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang