Chapter 4: Glossary

32 12 6
                                        

Perundungan merupakan tindakan bodoh yang hanya dilakukan oleh bibit-bibit sampah masyarakat dari zaman ke zaman. Sebagai pecinta kebersihan akut, remaja berumur tujuh belas tahun bernama Felix Cooper tentu tidak akan membiarkan sampah meraja lela. Ia berpendapat bahwa sampah sudah selayaknya dibuang dan dimusnahkan dari dunia ini selamanya.

Di bangku paling pojok dekat jendela, Felix duduk di atas bangku dengan tangan menopang dagu. Suasana kelas saat ini terlihat sangat riuh. Maklum, para pengajar sedang rapat di aula utama.

Tidak seperti teman-teman lain. Felix lebih suka menyendiri dan diam. Ia benci berinteraksi padahal sudah nyaris satu tahun ia bersekolah di sini. Peduli setan jika sebagian orang mengatainya makhluk anti sosial.

Dari lantai tiga, sepasang mata merah kecokelatan menatap ke bawah. Lebih tepatnya menatap lima siswa bajingan yang sedang asyik memukuli seorang remaja culun berkacamata tebal. Felix memang tidak mengenal mereka, tetapi pemandangan di bawah sana sukses membuat nuraninya geram setengah mati.

Napas berat berembus melalui mulut. "Merepotkan sekali," gumamnya pelan.

Meski begitu, Felix tetap diam di tempat dan kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda yakni bermain game. Jangankan menyelamatkan siswa culun dari perundungan, bergabung bersama teman-teman lain yang sibuk bermain bola di kelas saja malas. Namun, jangan salah. Ia bertingkah demikian bukan karena tidak peduli, melainkan karena sedang menunggu waktu yang tepat. Alangkah baiknya ia menunggu sampah-sampah itu untuk bersenang-senang sebelum membuangnya dari dunia ini.

Felix memenangkan pertandingan. Tulisan 'you win' terpampang jelas di layar ponsel. Bersamaan dengan itu, bel pulang berkumandang. Para murid kegirangan. Satu per satu dari mereka membereskan kekacauan di atas meja, kemudian berbondong-bondong keluar dari kelas yang memuakkan.

Sepasang kaki melangkah konstan di tengah keramaian. Felix memandang lurus ke depan tanpa memedulikan sekitar. Pembawaannya sangat tenang dan santai. Ia kembali mengalihkan atensi ke arah layar ponsel. Kedua ibu jari bergerak, mengetik sebuah pesan singkat yang bertuliskan; bersiaplah, sebentar lagi aku akan melakukannya. Tidak ingin membuang-buang waktu, ia segera mengirim pesan kepada seseorang bernama Dalton Wood.

Kedua kaki berjalan semakin cepat. Seringai tipis mengembang, menghiasi wajah kala mendapati lima orang pria perundung yang menyiksa bocah culun berkacamata tebal. Mereka tidak sengaja berpapasan dengannya di sebuah gang sepi. Air muka Felix berubah. Terlihat lebih ramah dan bersahaja. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, lalu menepuk pundak salah satu dari kelima bajingan, seorang lelaki berbadan besar.

"Ha?! Siapa kau?"

Felix tak gentar. Ia tetap mempertahankan senyum bisnis di wajah. Alih-alih menjawab, ia malah berkata, "Aku akan memberi kalian uang sebanyak yang kalian mau, tetapi kalian harus mengantarku ke Noah Billiard."

Sebelah alis terangkat heran. Lelaki berbadan besar itu berjalan maju. "Memberikan uang sebanyak yang kami mau hanya dengan mengantarmu?" tanyanya curiga, lantas berbalik, menghadap keempat teman yang berdiri di belakangnya. "Tidakkah kalian merasa bahwa tawaran dari bocah cebol ini terdengar sangat mencurigakan, huh?"

"Ya, kau benar. Dia sangat mencurigakan," seorang remaja gendut menginterupsi.

Si badan besar menyeringai. Ia kembali berbalik menghadap Felix. "Kau dengar itu, cebol?"

"Lagi pula, apa yang ingin kau—"

"Kalian semua harus menuruti keinginanku," Felix menukas cepat perkataan remaja kurus yang hendak memojokkannya. Ia menatap mereka satu per satu seraya menjentikkan jari. Tiba-tiba, kelima perundung diam terpaku. Tatapan mereka seketika kosong. Terlebih saat Felix berkata, "Ayo pergi!"

The Murderer's SchemeWhere stories live. Discover now