Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
"Abang, jangan bengong!" Suara Melisa terdengar lagi, membuat Fyan terperanjat.
"Abang, Mel emang nggak tahu apa yang Abang rasain karena Abang belum pernah cerita ke Mel. Maafin Mel kalo kesannya ngatur hidup Abang. Mel tahu, Abang pasti udah mikirin baik dan buruknya. Kalau Abang merasa hidup sendiri bikin Abang nyaman, Abang jangan mikirin kata-kata orang. Abang wajib bahagia atas jalan yang udah Abang pilih."
Selama Melisa bicara panjang lebar itu, Fyan tidak henti memandangi wajahnya di balik layar. Melisa kalau sedang serius begini memang menarik, pantas saja Candra langsung jatuh hati. Ya, walaupun Fyan tidak akan lupa bagaimana ibu dari laki-laki itu memporak-porandakan hidup Melisa.
Sekarang mereka berdamai, bahkan Sarina sudah wafat. Fyan cukup tenang melihat Melisa bahagia mengurus ketiga anaknya. Bukankah itu membuktikan bahwa setelah badai pasti ada pelangi?
"Makasih, ya, Nok." Hanya itu yang bisa Fyan katakan. Dirinya bingung ingin menanggapinya bagaimana. Yang jelas ia sangat bersyukur dikelilingi keluarga yang begitu mengerti keadaannya.
"Sama-sama, Abang. Galaunya jangan kelamaan, ya. Nanti tetangga sebelah keburu diambil orang."
Fyan spontan geleng-geleng. "Yee, dasar. Balik lagi ke setelan pabrik."
"Habis aku gemes, Abang. Beneran Abang nggak naksir sama dia? Aku, kan, udah punya mbak yang galak sama mbak yang usil, bisalah Abang kasih aku mbak yang imut-imut."
"Dasar. Tuh, Xabian lagi ngapain di belakang?" Fyan mencoba mengalihkan pembicaraan. Melisa pun menengok ke belakang dan berteriak memanggil anaknya. Panggilan langsung terputus.
Masih memegang ponsel, Fyan lantas membuka grup chat keluarga. Dugaannya tidak pernah meleset. Ryan memang jagonya membuat kegaduhan.
Ryan: Ada pendekar, nih. Rela bahunya patah demi nolongin ayang.
Mas Ahsan: Sudah sejauh itu ternyata. 😂😂😂
Nuri Adik Ipar: Nggak ada niatan bayarin kateringnya gitu, Mas? Atau tambahin menunya gitu. Calon dokter, lho. Masa makannya sedikit. Aku sering kasih bonus, lho, Mas.
Si Bungsu: Masyaallah tabarakallah, Abang.
Si Bungsu: Pas jatuh pasti bukan sakit yang dirasain, tapi cinta.
Nuri Adik Ipar: 😂😂😂
Mas Ahsan: 😂😂😂
Mas Ahsan: Tahu aja Rianti jago baca hasil rontgen.
Mas Ahsan: Terbaik adikku.
Ryan: Modusnya terlalu mulus.
Si Bungsu: Eh, lagi sakit itu didoain biar cepat sembuh, bukan di-roasting.
Si Bungsu: Semoga cepet sembuh, Abang. Habis itu langsung gas ke KUA, ya.
Mas Ahsan: Tahun depan bisanya, Dek. Soalnya masih magang, nggak boleh cuti.
Mas Ahsan: Kalo selesai magang langsung ambil spesialis, ya nunggu lagi sampai 4 tahun. 😂
Si Bungsu: Ya udah aku ralat.
Si Bungsu: Semoga cepet sembuh biar tahun depan bisa nikahin ayang.
Ryan: Amin.
Nuri: Amin.
Mas Ahsan: Amin.
Mama: Mama boleh ikutan bilang amin, nggak?
Ryan: Malah wajib, Mama.
Ryan: Doa ibu, kan, langsung nembus langit.
Hanya dibaca karena Fyan tidak minat membalas pesan-pesan itu. Toh, mau dijelaskan juga tidak ada gunanya. Keluar dari ruang pesan grup, Fyan menemukan pesan baru dari kakaknya yang belum dibuka sejak kemarin. Usai membaca pesan itu, Fyan termenung.
Mas Ahsan: Kalau kamu masih ragu, lihat Mas dan Mel yang sekarang, bukan yang dulu.
Yang sekarang, bukan dulu. Fyan mencoba memasukkan kalimat itu ke dalam pikirannya. Ia kembali menarik seluruh ingatannya tentang kehidupan adik serta kakaknya. Keduanya sama-sama saling menemukan belahan jiwa, meskipun harus merasakan sakit terlebih dahulu. Keduanya menemukan masing-masing lentera yang mampu menerangi hidupnya.
Setelah kejadian itu, Fyan tidak pernah mendengar kabar buruk dari Melisa. Artinya masalah yang adiknya alami dapat diselesaikan berdua saja dengan Candra. Mereka tumbuh dan saling menaungi. Begitu pula dengan Ahsan. Fyan merasa Ahsan jauh lebih baik setelah bertemu Inayah.
Berarti semuanya akan tampak baik-baik saja jika bertemu dengan orang yang tepat, bukan?
Fyan tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia memilih berdiri, mendekat ke arah pohon mangga yang letaknya di dekat pagar rumah. Dahannya ada yang sudah menjalar keluar dari pagar. Kalau tidak dipotong secepatnya, akan mengganggu pemandangan di luar. Namun, Fyan tidak mungkin memotongnya sekarang lantaran pakai tangan satu. Fyan juga tidak mau jika Hartanto yang mengerjakan ini. Jadi, satu-satunya kandidat kuat adalah Ryan.
Tanpa berpikir panjang Fyan menekan nomor Ryan. Akan tetapi, ia urung menghubungi saudaranya itu lantaran matanya menangkap sosok Antonio yang sedang berjalan menggunakan tongkat menuju ke arahnya.
"Kamu lagi ngapain di sini?" Antonio yang bertanya lebih dulu.
"Lagi lihat pohon ini, Pak. Mau dirapiin biar nggak ganggu pemandangan," jawab Fyan.
"Tangan kamu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah lebih baik dari kemarin."
"Maafin Rianti, ya. Gara-gara dia, kamu jadi sakit kayak gini."
"Nggak seperti itu, kok. Rianti nggak salah. Ini musibah yang nggak bisa diprediksi kapan terjadinya." Kejadian kemarin bukan salah siapa pun. Memang Fyan lagi apes saja. Lagi pula, Fyan tidak mungkin membiarkan Rianti celaka.
"Saya boleh minta satu hal ke kamu?"
"Boleh, Pak," jawab Fyan tanpa berpikir panjang.
"Saya mau kamu jangan terlalu dekat dengan anak saya. Rianti ini mau jadi dokter spesialis. Saya nggak mau kamu mengacaukan rencananya. Saya yakin kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Rianti, karena kamu laki-laki baik."
Usai mendengar itu, Fyan justru terperangah, mengingat kembali kebersamaannya dengan Rianti. Apakah sudah berlebihan? Jika tidak, mana mungkin Antonio repot-repot datang dan mengatakan itu.
"Pak Antonio tenang aja, saya nggak akan deketin Rianti lagi, kecuali ngomong tentang progres rumah." Jujur saja saat mengatakan itu, tenggorokan Fyan terasa berat. Harusnya tidak perlu merasa kehilangan, kan?
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.