AL

45 5 1
                                    

Mata Al terbuka perlahan. Dia melihat jam yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Pandangannya masih buram. Samar-samar, dia melihat angka digital di jam itu. Pukul setengah tujuh pagi, tetapi ponselnya sudah ribut sekali. Al mendesah kesal. Dengan malas, dia meraih ponselnya, lalu menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon lebih dulu.

"Al? Kau sudah bangun?"

Dahi Al mengernyit. Tentu dia mengenali suara sang penelepon. "Ya, Ma?"

"Mama cuma mau ingetin. Hari ini kamu ada janji ketemu sama Maura," kata Daria.

Kalau sudah urusan perjodohan, ibu tirinya ini berubah menjadi agenda berjalan. Sibuk mengingatkan. Hanya saja, Al sedang malas. Apalagi hari ini adalah hari Minggu.

"Ya, Ma." Hanya itu jawaban Al. Dia tahu, ibunya sangat bersemangat mengenalkannya dengan Maura karena perempuan itu anak temannya.

"Bawakan Maura hadiah ya, Al." Daria mengingatkan.

"Ya, Ma." Al memejamkan matanya lagi.

"Semoga kencanmu menyenangkan, Al." Daria menutup percakapan.

***

Al melihat nama kafe di hadapannya, memastikan dia datang ke tempat yang tepat. Bluestone Lane. Setelah mencocokkan dengan pesan yang dikirimkan Maura, dia bersyukur tidak salah tempat.

Setelah satu helaan napas panjang, Al melangkahkan kakinya memasuki kafe tersebut. Ini kesekian kalinya ibunya berusaha mengenalkannya dengan perempuan. Entah berapa kali lagi Al harus menjalani perkenalan semacam ini.

Beberapa langkah di depan, Al bisa melihat seorang perempuan sedang duduk sendirian mengenakan syal kuning. Itulah Maura, perempuan yang membuat janji dengannya.

Semakin dekat, wajah perempuan itu semakin jelas. Al merasa mengenal perempuan itu. Jantung Al berdegup kencang. Dia adalah perempuan yang ditemuinya di Pasar Natal! Perasaan Al langsung berubah senang.

"Hai," sapa Al dengan darah berdesir.

Perempuan itu mengangkat pandangannya. Mata mereka kembali bertemu. Bibir mereka merekahkan senyum.

Perlahan, perempuan itu bangkit berdiri. Lalu, Al pun mengulurkan tangannya.

"Aldebaran," ucap Al. "Aldebaran Joshua Sahil. Panggil saja Al."

"Aku..."

Sebelum perempuan itu sempat menyelesaikan kata-katanya, ada seorang perempuan lagi datang. Dia meraih tangan Al dan menjabat erat. Hal itu membuat Al kebingungan.

"Aku Maura," kata perempuan yang tiba-tiba datang itu. "Ini sahabatku, Gabriella."

Namanya Gabriella. Al tersenyum kepada Maura, sementara matanya tidak lepas memperhatikan Gabriella. Bahkan, dia mengekori kepergian Gabriella.

Semua bermula dari momen itu. Sebuah momen yang mengubah semuanya.

***

"So, what do you think?" tanya Al.

Saat itu, Al dan Maura baru saja keluar dari Nederlander Theater di Broadway. Al tidak tahu harus memberikan hadiah apa kepada Maura, jadi dia memberikan tiket pertunjukan The Wiz. Tidak disangkanya, Maura sangat antusias menerima tiket itu.

Maura sangat menyukai The Wizard of Oz. Jadi, dia sangat senang menyaksikan terobosan baru Broadway—mulai dari musik ikonik soul, gospel, rock, dan funk tahun 70-an hingga kisah menggugah tentang perjalanan Dorothy menemukan tempatnya di dunia kekinian.

"Aku suka banget!" sahut Maura.

Minggu malam itu mereka berjalan bersama di tengah musim dingin. Berbagai warna dan neonflash menerangi jalan yang termahsyur itu.

Al melirik Maura lewat ekor matanya. Jantungnya sedikit berdesir saat melihat bola mata Maura. Begitu jernih. Mata bersinar yang menyiratkan rasa kagum luar biasa pada hal yang baru saja disaksikannya. Mata itu tampak seperti mata anak-anak yang bahagia diperbolehkan makan es krim. Begitu hidup, sama seperti senyumnya.

Al menyukai Maura Nurudia Patterson ini. Perempuan berdarah blasteran. Dia sudah merasa ada hal spesial dalam diri Maura.

Maura perempuan cantik dengan kulit eksotis dan senyum lebar. Dia anggun dengan rambut cokelat lurus panjang. Tubuhnya semampai dalam naungan mata bulat berwarna hijau. Maura begitu memesona di balik keceriaannya hingga membuat Al gemas. Maura memesona dengan senyumnya di antara pipi bulatnya. Maura memesona dengan hidung mancungnya.

"Kau sedang melihat apa?" Maura melambaikan tangan di depan mata Al.

Al pun terkesiap, tidak sadar sudah melamun jauh demi memandangi kecantikan Maura. Al menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering karena terpergok begitu saja oleh Maura.

"Mm... tidak. Aku cuma terpikir sesuatu." Bola matanya berputar, mencari-cari alasan. "Kau ingin makan hotdog?" Al menunjuk sebuah food truck.

Maura memicingkan mata, membuang pandangannya ke arah food truck yang ditunjuk Al. "Hotdog?"

Al menganggukkan kepala.

"Boleh juga. Aku ingin makan sesuatu." Mata Maura membulat penuh semangat.

Al tersenyum lebar. "Kita ke sana?"

"Ayo! Aku mau beli dua hotdog!" kata Maura penuh semangat.

"Buatmu sendiri?" tanya Al.

"Iya dong!" Maura menjawab mantab.

Al tertawa, lalu menarik batang hidung Maura dengan gemas.

"Auw!" rintih Maura. Perempuan itu menatal Al tajam. "Cuma Dad yang berani melakukan itu tau!"

"Berarti sekarang ada dua. Aku dan Dad-mu," goda Al.

Tidak perlu banyak kata-kata. Al sudah merasa, mereka berdua bisa menjadi pasangan cocok dan serasi dalam waktu singkat.

***

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now