20. SATU LANGKAH LEBIH DEKAT

72.6K 4.5K 1.5K
                                    

🥂1.6k vote and 1k comments for next chapter🥂

20. SATU LANGKAH LEBIH DEKAT

Mempersilakan kenangan baik hadir lalu merawatnya memanglah indah. Namun, tidak ada yang tahu sampai kapan indahnya akan bertahan.

***

Hari mulai petang. Langit biru yang tadinya begitu cerah, pun matahari yang bersinar dengan terik kini tidak lagi menampakkan wujudnya, sebab gumpalan awan hitam di atas sana berhasil menghalangi cahayanya.

Tampaknya, sore itu, pada hari Senin, Ibu kota Jakarta akan kembali
diguyur hujan deras. Semoga saja tidak terjadi badai seperti minggu-minggu sebelumnya. Namun bila diperhatikan, angin yang cukup kencang itu, tidak bisa hanya dibilang angin sore.

Pria yang tidur tertelungkup di atas kasurnya terjaga dari tidur nyenyaknya akibat rasa lapar yang dengan lancang dan tanpa permisi menyapa perutnya. Marsel menguap, mengucek matanya lalu melirik sebentar pada jam weker di atas nakas.

Susah payah Marsel bangun, duduk bersila. Matanya masih setengah terpejam, menandakan bahwa ia sedang berusaha untuk mengumpulkan nyawanya sembari memegangi perutnya yang baru saja berbunyi nyaring.

"Sabar." Marsel elus memutar perut kerasnya. Ia menghela napas panjang kemudian membuka mata. "Kita cari makan sekarang." Kata Marsel, berbincang bersama perutnya yang kembali berbunyi.

Marsel melangkah gontai menuju kamar mandi. Membasuh wajahnya beberapa kali dan tidak lupa pula berkumur-kumur. Marsel bercermin sebentar, sekadar memastikan kalau kedua matanya sudah bersih dari kotoran menjijikkan—belek.

Langkah lebar Marsel terkesan seperti orang yang sedang terburu-buru. Namun percayalah, saat itu Marsel santai saja dalam berjalan, kakinya yang panjang, membuatnya jadi terlihat seperti seseorang yang hampir berlari.

Kecewa? Tentu. Marah? Jelas. Rasa kantuknya mendadak hilang seketika, saat sampai di meja makan dan tidak ada apapun yang bisa masuk ke dalam perutnya. Hanya ada satu kerupuk ikan di atas sana, itupun sudah lembek karena tidak lagi berada di dalam kemasannya.

Tangan Marsel mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Sorot mata elangnya menajam. Setelahnya, bergegas Marsel melangkah meninggalkan dapur. Tujuannya sekarang adalah ke kamar Alana . Berniat memaki gadis itu habis-habisan sampai Alana tersiksa, hingga Alana lebih baik memilih untuk memotong telinganya sendiri dari pada harus mendengarkan ocehannya.

Namun, sesampainya ke tempat yang hendak ia tuju tadi, alis tebal Marsel menukik tajam kala mendapati pintu kamar Alana terbuka lebar. Cowok itu semakin heran lantaran tidak mendapati Alana di dalam sana.

"ALANAAA!" Lalu keluarlah jurus andalannya. Berkali-kali Marsel berteriak memanggil nama Alana sembari mencari gadis itu ke tiap-tiap sudut rumah sampai peluh membanjiri pelipisnya.

Bagaimana tidak ngos-ngosan? Marsel berkeliling di bangunan bertingkat tiga itu, mencari gadis tersebut tapi tidak kunjung ia temukan, bahkan ujung hidung Alana saja tidak dapat Marsel lihat.

Dengan perasaan dongkol Marsel kembali lagi ke kamarnya. Mengambil ponsel lalu menelepon Alana. Sialnya lagi, sudah lima kali Marsel menghubungi Alana dan sudah lima kali pula panggilannya tidak terjawab. Marsel engacak rambutnya kesal, dan saat Marsel akan melakukan panggilan lagi, ia berhenti karena menyadari sesuatu.

Marsel berlari keluar kamar. Ponsel tadi masih berada dalam genggamannya, ia remas kuat seolah ingin memecahkan benda pipih berlogo apel itu. Dia akan kembali masuk ke kamar Alana guna memastikan sesuatu.

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang