Chapter 32. L*ngerie

3.9K 277 8
                                    

Pukul delapan malam di kota Paris.

Tanpa terasa, Matheo dan Inaya sudah menghabiskan hampir empat hari di kota paling romantis. Menara Eiffel hampir setiap hari Inaya pandamgi, karena terlihat dari jendela kamar hotel yang begitu strategis.

Saat ini Inaya dan Matheo sedang makan malam, untuk terakhir kalinya di kota ini. Besok pagi, mereka akan melakukan penerbangan pulang ke Jakarta.

Inaya dan Matheo memilih makan malam di dalam kamar hotel yang mereka inapi, sebab mereka sudah cukup puas mendatangi beberapa restoran di kota Paris selama empat hari terakhir.

Inaya juga mengatakan sangat menyukai pemandangan dari kamar hotel mereka, hingga mereka memutuskan untuk makan malam disini, tepatnya di area balkon yang begitu sejuk.

"Mas Theo, gimana?"

Tiba-tiba Inaya bertanya, sambil menatap suaminya yang kini menatapnya.

"Apanya?" tanya Matheo.

"Perasaannya?" tanya Inaya lagi, dengan senyuman kecil di bibirnya.

"Mas Theo kan mau liburan karena butuh nenangin diri, dan ini udah hari terakhir kita di Paris, apa sekarang udah enakan?"

Inaya bertanya, sambil menatap Matheo dengan lembut.

Matheo yang mendengar itu awalnya terdiam. Ia terlihat berpikir, sebelum senyuman kecil tersungging di bibirnya.

"Aku.. malah lupa sama itu, aku hampir gak inget lagi sama Marisa."

Kalimat itu membuat kedua mata Inaya sedikit membulat. Jantungnya berdebar kencang.

"Hah?" ucap Inaya.

"Awalnya aku emang masih kepikiran terus, waktu hari pertama kita sampe di London, aku masih kepikiran Marisa."

Matheo mengelap mulutnya, kemudian ia menuangkan wine ke gelasnya, yang sudah tersedia untuk mereka berdua.

"Tapi semakin kesini, aku udah semakin gak inget sama dia, aku udah mulai lupa sama rasa sakit itu."

Matheo meminum wine tersebut, dan merasakan betapa nikmatnya cairan anggur berkualitas kelas atas tersebut.

"Gak tau sih setelah balik ke Jakarta nanti gimana, tapi yang pasti, aku sadar kalo bulan madu ini gak sia-sia, karena sekarang aku udah jauh lebih lega dibanding dulu."

"Aku juga ngerasa berhasil bersihin otakku dari pikiran buruk, aku jadi sadar kalo Marisa emang salah dan aku gak seharusnya mikirin apa kesalahan yang aku perbuat sampe bikin dia selingkuh."

Matheo memegang gelas winenya lagi, kemudian menatap Inaya.

"Kalo yang satu itu, berhasil aku pahamin berkat kamu, Inaya."

Matheo berucap, membuat Inaya tersentak mendengarnya. "Berkat kamu, aku jadi lebih sadar dan gak terus-terusan ngelak kalo Marisa emang gak pantes aku pikirin."

"Aku bakal ngelanjutin hidupku kaya dulu, aku gak bakal emosian lagi cuma karena apa yang udah dilakuin Marisa."

Matheo kembali meminum wine nya. Mengucapkan semua kalimat itu di hdapan Inaya, sambil meneguk winenya, terasa begitu tepat.

Kini Matheo menatap Inaya dengan tatapan yang lembut. "Berkat kamu sama nenek, aku jadi ngerasa jauh lebih tenang sekarang," ucapnya lagi, dengan senyuman kecil di bibirnya.

Sementara Inaya yang sedari tadi mendengarkan, masih merasa tersentak.

Selama empat hari mereka di Paris, Inaya yang justru banyak beban pikiran. Inaya yang seharusnya menikmati waktunya bersama Matheo dan membantunya menenangkan diri, namun malah dirinya yang banyak bersedih.

Love HeritageМесто, где живут истории. Откройте их для себя