⚠️Lestarikan vote di setiap bab yang kalian baca. Dilarang keras menjadi siders pada lapak ini⚠️
Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya.
Happy reading
19. PARA PECUNDANG
Kita tidak bisa menahan siapapun untuk tidak membenci kita, tapi kita bisa menahan diri kita, untuk tidak membenci pada siapapun.
***
Upacara pengibaran bendera hari itu berlangsung khidmat. Walau ada satu dua murid mengeluh sebal karena wajahnya terbakar oleh teriknya sinar matahari, dan juga amanat panjang yang sudah basi sekali dari Bapak kepala sekolah. Bagaimana tidak basi, setiap guru tersebut naik ke atas mimbar jadi pembina upacara, kalimat itu-itu saja yang dia ucapkan. Bahkan sebagian murid ada yang sampai hapal.
Para siswa dan siswi kompak menghembuskan napas lega lalu bubar dari barisan setelah usainya rutinitas tiap hari Senin pagi, yang wajib dilaksanakan oleh pelajar maupun pengajar.
Koridor membeludak, terisi oleh lautan manusia berbaju putih dan bawahan abu-abu. Ada yang hendak menuju ke kelasnya, ada juga yang mencoba bolos ke tempat tersedianya minuman serta makanan. Bagi murid nakal, setelah upacara adalah timing yang tepat untuk mereka menyelinap diam-diam ke kantin smansa. Guna melepas dahaga setelah dijemur seperti cucian, sekalian juga mengisi perut, bagi mereka yang tidak sempat sarapan, habis berkejaran pagi-pagi dengan waktu.
Terdengar hembusan napas kasar siswa siswi kelas X MIPA 1 ketika kaki Pak Bondang baru masuk sebelah ke dalam ruangan. Guru itu sampai mengernyitkan dahi melihat reaksi anak didiknya yang menurutnya aneh dan juga sangat dramatis.
Saat diri masih kepanasan, dikala tenggorokan mereka terasa kering, dan mereka malah diharuskan untuk memulai pelajaran matematika? Mapel yang membuat otak kepala mereka serasa mendidih? Oh, ayolah, bokong para murid baru mendarat di kursi selama tiga detik, dan guru botak itu sudah masuk bersama buku paket tebalnya.
"Kenapa kalian? Enggak senang saya masuk pagi ini?" Bertanya Pak Bondang seraya membanting bukunya ke atas meja, duduk di kursi, memasang ekspresi congkak. Menatap satu persatu muridnya yang perlahan mulai menunduk takut.
"Kenapa nunduk? Mana tadi yang enggak suka pas saya masuk?" Pak Bondang memukul meja tiba-tiba, hingga beberapa dari mereka ada yang memekik tertahan, khususnya wanita.
"Bagi yang tidak mau mengikuti pelajaran saya, silakan, kalian boleh keluar. Untuk apa saya mengajar tapi kalian terpaksa berada di dalam sini?" Guru itu menghela napas panjang. Di pagi hari yang cerah ini, dia malah harus marah-marah begini.
"—Percuma. Ilmunya enggak bakalan masuk di otak kalian. Gurunya saja kalian malas patuhi. Ilmunya juga malas kali, berbaur dengan saraf-saraf di dalam kepala kalian." Pak Bondang saling tautkan jemarinya yang berada di atas meja. "Gimana coba, kalian mau paham dengan matematika kalau benci sama saya?"
"Hey hey! Lihat saya! Jangan menunduk!" Pak Bondang kembali memukul meja dua kali. "Lantai sekolah kita tidak terbuat dari emas, enggak usah lah kalian tatap terus-menerus begitu."
Para murid yang mempunyai teman sebangku saling senggol-senggolan, kemudian serentak berhenti menunduk seperti apa yang diperintahkan pak Bondang tadi. Mereka tatap lamat-lamat kepala licin pria umur 40 tahunan tersebut.
"Cintai dulu gurunya, dengan begitu, kalian juga bakalan cinta dengan apa yang diajarkannya."
Hampir tawa Budi menyembur kalau dia tidak segera ingat, bahwa sosok tua yang duduk di depan sana adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Membuang muka ke samping ketika pak Bondang menatap pada dirinya. Sontak tawa Budi pecah detik itu juga tatkala ia menoleh dan mendapati wajah serius Justin sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...