"Hatur nuhun pisan Neng Putri. Semoga Allah balas dengan berlipat ganda." Ucap salah satu tetangga yang rumahnya dekat sekali dengan rumah Putri, ia terihat begitu sangat senang menerima makanan yang Putri berikan padanya. "Semoga Bu Diah panjang umurnya yah, sehat selalu dan segera ditambah cucunya."

Putri dan Kafka mengamini ucapan ibu tersebut.

"Kenapa tidak undang saja mereka ke rumah. Biar bisa doain ibu bareng-bareng?" Tanya Kafka, tinggal tiga kotak makanan lagi yang tersisa dan Putri berniat memberikan makanan itu pada satu keluarga yang tinggal di pinggir sungai dekat dengan kebun singkong milik keluarga Putri.

"Dulu aku juga nanya itu ke ayah. Kenapa nggak undang saja orang-orang ke rumah buat doa'in ibu. Daripada kaya gini. Capek harus anterin makanan ke banyak orang."

"Terus ayah jawabnya apa?" Kafka tak sabar ingin tahu apa jawabannya.

Putri tersenyum. "Biar pahala buat akunya banyak."

Dahi Kafka berkerut.

Putri melanjutkannya ucapannya. "Kata ayah kalau kita ngelakuin kebaikan, terus kita tuh ngerasa capek banget pas ngelakuinnya tapi tetap dilakuin insya allah pahalanya akan banyak."

"Masa?"

"Yah nggak tahu juga itu kan kata ayah. Banyak sedikitnya pahala itu tergantung sama yang punya segala-Nya ridho atau tidak." Putri menghentikan langkahnya. "Itu rumahnya." Ia menunjuk sebuah rumah atau mungkin kebanyakan orang akan menyebutnya dengan gubuk. Sebuah rumah sangat kecil yang dinding rumahnya terbuat dari triplek dan atapnya berupa seng.

Kafka terdiam. Ini kali pertama baginya melihat rumah yang mungkin kalau ia tak datang kemari bersama Putri ia akan berpikir kalau itu adalah kandang hewan yang dibangun alakadarnya.

Rumah kecil itu dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah sangat tua dan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

"Ini ada sedikit makanan untuk Ni Ijah dan Ki Dasif, untuk Iwan juga ada." Putri memberikan tiga kotak makanan itu pada Iwan. "Oh iya sama ini ada sedikit uang untuk Iwan beli keperluan sehari-hari." Putri memberikan amplop berisi uang pada Iwan.

"Makasih banyak Kak Putri, semoga Allah membalas segala kebaikan Kak Putri dengan berlipat ganda."

"Aamiin. Kak Putri nggak bisa lama, harus langsung pulang."

Iwan mengangguk. Ia kembali mengucapkan terimakasih kepada Putri dan Kafka.

"Jadi dia yang kemarin kamu ceritain?" Ya, kemarin Putri bercerita tentang anak kecil yang sudah yatim piatu sedari bayi, ibunya meninggal saat melahirkannya dan ayahnya meninggal saat usianya enam bulan, dan akhirnya ia tinggal bersama kakek neneknya yang sudah sangat tua. Dulu rumah kakek dan nenek Iwan berada dekat rumah Putri, namun tak lama setelah ayah Iwan meninggal rumah itu dijual untuk pengobatan nenek yang kala itu sakit-sakitan. Dulu Iwanlah yang diurus oleh Kakek neneknya, namun sekarang Iwanlah yang bertugas mengurus Kakek dan Neneknya. Ia memilih putus sekolah demi menjaga dan mengurus Kakek dan Neneknya. Beberapa orang yang tak tahu kehidupan Iwan selalu berkata kalau Iwan adalah anak malas yang tak mau sekoah, padahal bukan Iwan tak mau sekolah tapi kalau ia sekolah bagaimana kakek dan neneknya. Kaki neneknya sudah tak kuat dipakai untuk berjalan lagi maka kaki Iwanlah yang kini menjadi kaki neneknya, sedangkan kakeknya sudah tak mampu lagi melihat dengan jelas maka mata Iwanlah yang kini menjadi pengangganti mata kakeknya.

"Ia benar-benar anak yang shaleh." Ucap Putri.

"Iya, dia benar-benar anak yang shaleh." Kafka mengiyakan perkataan Putri.

"Mas." Putri menghentikan langkahnya.

Kafka pun langsung melakukan hal yang sama. Ia menatap Putri dengan tatapan bertanya.

"Boleh aku meminta sesuatu?"

"Apa?"

"Tapi kalau semisalnya Mas tidak bisa tidak apa-apa."

"Memangnya kamu mau minta apa?"

"A..aku..." Putri menggigit bibir bawahnya, tanda kalau ia merasa takut untuk mengutarakan apa yang hendak ia pinta pada Kafka.

Kafka meraih tangan Putri, menggenggamnya. "Apa yang kamu inginkan, sayang?" Tanyanya dengan lembut.

Pipi Putri bersemu merah. Panggilan sayang membuatnya merasa malu. "A..aaku ingin kembali tinggal sama ibu."

Kafka memandang Putri dengan tatapan terkejut. "Kamu mau kita pisah?"

"Bukan." Putri berkata cepat. "A..aku sama Mas tinggal sama ibu disini."

"Kenapa tiba-tiba kamu minta hal itu?"

Putri jalan ke arah pohon besar yang ada di dekat sungai. Ia mendudukkan tubuhnya di salah satu akar besar pohon tersebut. "Hari ini umur ibu sudah lima puluh enam tahun."

Kafka ikut mendudukkan tubuhnya di samping Putri. Mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang hendak Putri katakan.

"Ibu sudah tua, dan di masa tuanya ibu tinggal sendiri. A..aku merasa diriku telah menjadi anak yang jahat Mas. Ibu yang melahirkanku... ibu yang membesarkanku... ibu yang melakukan apapun demi kebahagiaanku," Setetes air mata membasahi pipi Putri dan Kafka menyekanya dengan lembut, Putri tersenyum. "Kodratku sebagai wanita memang diharuskan untuk tinggal bersama suaminya. Kemanapun kakimu melangkah maka kesanalah kakikupun melangkah." Putri menghentikan ucapannya. Ia memandang ke arah sungai. 

Untuk beberapa saat keduanya diliputi oleh keheningan, hanya suara deru air sungailah yang terdengar. 

"Ibu berkata tidak apa-apa saat aku harus ikut tinggal bersama Mas. Ibu pun berkata tidak apa-apa saat Kak Nisa harus tinggal diluar kota bersama suaminya, namun sebagai seorang anak aku dapat merasakan kesedihan yang ibu rasakan. Sendiri di rumah yang dulunya penuh akan canda tawa yang senantiasa terlontar dari dua bibir gadis kecilnya."

Suara adzan ashar berkumandang terdengar nyaring dari surau yang letaknya tak begitu jauh dari tempat keduanya duduk.

"Sebelum pulang kita salat dulu yah." Putri beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah surau begitupun dengan Kafka.

Anak-anak kecil berlarian di teras surau bersiap untuk melaksanakan salat.

"Kak Putri." Beberapa anak berhambur menghampiri Putri dan mencium punggung tangan Putri saat Putri telah melaksanakan salat.  Mereka cukup dekat dengan Putri karena sebelum menikah setiap hari sabtu dan minggu Putri akan datang ke surau ini untuk membantu Kak Ayu mengajari mereka mengaji.

Putri mengeluarkan beberapa cemilan dari dalam kantong plastik yang ia bawa dan membagikan cemilan itu kepada anak-anak tersebut. Mereka berseru senang.

"Kalau pas salat jangan bercanda." Ucap Putri pada mereka yang ketika salat malah saling menginjak kaki.

"Siap Kak Putri." Jawab salah satu diantara mereka sebelum berlari pergi keluar surau.

Kafka menghampiri Putri yang tengah melipat mukena. "Bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?" Tanya Putri bingung. Ia menatap Kafka dengan penuh tanya.

"Kalau ternyata aku tidak bisa memenuhi permintaanmu."

Putri terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berucap. "Itu hak Mas..."

T B C

09 Syaban 1445H

Sebentar lagi ramadhan, semoga Allah sampaikan kita pada bulan suci ramadhan 🥰












Bukan Pernikahan Impian | ENDWhere stories live. Discover now