Jadilah pembaca bijak yang tahu caranya menghargai karya orang lain setelah menikmatinya. Lestarikan vote di setiap bab marselana yang kalian baca. Dilarang keras menjadi siders pada lapak ini!
18. PEDULI YANG MASIH ABU-ABU
Katanya, yang hitam tidak selalu kotor, dan putih, belum tentu selamanya akan selalu suci.
Mencoba untuk tidak membahas, mengungkit, apalagi menyinggung perihal kemarin. Soal pertengkaran itu, tangisan pilu si pria galak, dan juga tentang pelukan sebentar mereka yang terasa cukup hangat.
Alana memilih untuk mengindar, Marsel juga sepertinya sedang membuat jarak dengannya. Setelah Alana keluar dari kamar cowok itu, mereka tidak lagi terlibat perbincangan apapun, saat makan malam pun, keduanya hanya saling diam. Ketika berpapasan, sama-sama berpura tidak melihat, atau kadang tak acuh saja, persis seperti orang asing yang tidak saling mengenal.
Namun, sepertinya keadaan tenang itu tidak bertahan lama. Di hari Senin pagi, ketika Alana akan berangkat ke sekolah, kala ia keluar dari dalam rumah megah itu, ada Marsel yang sedang memanaskan mesin motornya di luar, posisi berdiri cowok itu sejajar dengan pintu rumah.
Marsel tiga detik lebih dulu mengangkat kepala, setelahnya baru Alana ikut menoleh. Mata keduanya bertemu tatap, sepasang netra beda warna itu saling beradu pandang untuk beberapa saat, sebelum kemudian kontak mata mereka terputus sebab Alana menunduk.
Alana memilin tali tas sandangnya lalu segera mengambil langkah untuk pergi. Berusaha tenang ketika dirasa pandangan cowok itu tetap mengarah pada dirinya. Sebisa mungkin Alana tetap menunduk, tidak balik menatap seperti apa yang tengah Marsel lakukan sekarang.
Tin!
Alana berjengit kaget gara-gara klakson nyaring yang sangat tiba-tiba itu tepat ketika ia akan melewati motor ganteng tersebut. Langkahnya tertahan, Alana putar berbalik badan menghadap Marsel seraya melayangkan tatapan bertanya. Cowok itu sudah bersedekap dengan kaki kanan menyilang dan tubuh bersandar pada body ninja hitam kesayangannya.
Dahi Alana berkerut samar saat Marsel mengedikkan dagu ke arahnya. Karena tidak tahu apa maksud lelaki ini, Alana balas dengan melakukan hal yang sama, ia kedikkan dagunya upaya bertanya.
Mersel tidak menjawab. Kepalanya ia telengkan ke kiri dan sudut bibirnya sedikit melengkung ke atas, membentuk senyuman kecil. "Cocok."
Alana semakin dibuat tidak mengerti. Gadis itu maju dua langkah lebih dekat. "Apa, Sel?"
Senyuman Marsel makin merekah, kembali ia kedikkan dagunya. "Tas yang lo pakai cocok."
Alana menoleh ke belakang, menatap tas abu-abu keluaran terbatas dan juga bermerek di punggungnya. Lalu menatap Marsel lagi. "Mungkin karena ini barang mahal." Alana kemudian tersenyum lebar, penuh ketulusan di dalam senyumannya. "Makasih untuk tasnya."
Ya. Benda itu pemberian Marsel dua tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Sudah lama sekali ia simpan di dalam lemari, terlalu sayang bila harus digunakan. Alana terpaksa, sebab ia tidak punya pilihan lain, karena tas usangnya sudah tak mampu lagi untuk ia selamatkan dengan cara menjahitnya seperti biasa, benar-benar rusak parah.
Marsel menaiki motornya. "Kalau tahu tas itu ternyata enggak lo buang, udah dari dulu gue hacurin tas buluk kesayangan lo yang nyakitin mata."
Senyuman Alana memudar perlahan. Binar dalam tatapannya berangsur hilang, tergantikan kesal dan jengkel. Memilih untuk tidak membalas ucapan Marsel barusan, ia berbalik lalu melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...