11. PRIA JAHIL DAN GADIS PARNOAN

100K 5.3K 1.6K
                                    

🥂1.75k vote and 1k comments for next chapter🥂

11. PRIA JAHIL DAN GADIS PARNOAN

Rezeki itu tidak selalu berpatok pada uang. Punya teman yang benar-benar teman adalah hal terindah yang enggak semua orang bisa dapatkan.

***

Sekitar tujuh belas orang lelaki berjaket hitam sama persis dengan logo kepala serigala di bagian punggung serta bahu sebelah kiri mengisi ruangan bercat putih tersebut. Suara monitor juga bau obat-obatan mengisi indra pencium dan pendengar mereka.

Sepasang netranya menatap di objek yang sama, tepatnya pada sosok pria yang duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit, cowok yang cengengesan tidak jelas dari tadi.

"Lo kucing garong jadi-jadian? Nyawa lo ada sembilan? Sok-sokan kagak ngelak pas disodok pisau, kalau mau mati bilang sama gue! Gue secara suka rela nawarin diri buat nyayat nadi lo!" Bastian tidak dapat menahan diri untuk tak mengeluarkan segala uneg-unegnya. Cowok itu semakin naik pitam ketika Daren masih saja cengengesan. "Gue putusin juga nih selang infus lo, kalau enggak berhenti ketawa," ancam Bastian geram, tangannya sudah memegang selang infus, ancang-ancang hendak menarik.

Bibir Daren mengerucut, beralih menatap Aksara yang berada di samping kiri brankar, upaya mencari pembelaan, karena hanya Aksara, satu-satunya orang paling waras diantara para sahabatnya yang lain. Namun, cowok pendiam itu malah mengernyit bingung.

"Kenapa lo? Nahan boker?"

Tak disangka-sangka, tawa dua anggota Amigos menyembur detik itu juga, buru-buru kedua tersangka tersebut berlari keluar dari ruangan, agar bisa tertawa puas tanpa harus melukai perasaan Daren.

Daren menghela napas, memegangi perut sebelah kirinya yang terasa nyeri ketika ia mengeluarkan karbon dioksida. "Mana sempat gue berpikir buat menghindar Bas, pisonya aja gue liat pas udah nancap kokoh di perut gue. Lagian gue mana tahu, gue juga enggak expect kalau si Bondan ternyata bakal bangun secepat itu, padahal gue yakin seribu persen kalau tendangan gue di punggung dia kenceng pakai banget."

Arlan memasang wajah malas, melipat kedua tangannya di depan dada, dengan mata yang terus tertuju pada Daren. "Udah dibilangin jangan gegabah, masih aja lo enggak hati-hati."

Bastian mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu anggota Amigos. "Gue enggak mau tahu. Ini terakhir kalinya gue lihat ada anggota dari Amigos yang terbaring di atas brankar begini, semua cowok yang gabung dalam perkumpulan Amigos enggak boleh lagi ada yang terluka, tanpa terkecuali! Gue enggak mau nyaksiin saudara gue luka cuman gara-gara tawuran yang enggak ada gunanya itu."

Iya. Pertemanan mereka lebih dari sekadar sahabat, bahkan lebih berarti dari yang namanya 'teman seperjuangan'. Mereka semua menganggap satu sama lain sebagai saudara.

Saudara tak sedarah.

"Kalau enggak bisa jaga diri, mending keluar secara terhormat, gue enggak mau AMIGOS jadi tempat berbahaya buat setiap orangnya. Gue enggak rela rumah kedua gue, perkumpulan yang udah kita bangun selama bertahun-tahun ini makan korban selanjutnya lagi."

Perkataan sarkas Farel mampu membangkitkan kesadaran diri mereka masing-masing. Termasuk Daren yang kini tertunduk, jelas ia merasa bersalah, tidak sanggup menatap wajah para sahabatnya yang kini memancarkan guratan khawatir, cemas, iba, juga takut yang teramat.

"Maaf." Kata itu meluncur bebas dari bibir pucat Daren. "Maaf karena ceroboh dan malah berakhir terluka gini. Maaf juga karena udah bikin lo semua panik."

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang