Bagian Kedua

15 1 0
                                    

selamat membaca.

***

"ENAK ya bengong? Bengongin apa kalo boleh tau?"

Rae menoleh, "Kai?"

Lelaki bernama lengkap Sebastian Kai itu kini memilih duduk di hadapan Rae. Tanpa mengucapkan apa-apa, mata Rae tetap memandang pada laki-laki yang kini duduk di depannya ini. Kai menyunggingkan senyum manisnya, senyum yang pernah jadi senyuman favorit Rae.

Ralat, masih menjadi senyum favorit Rae.

"Such a coincidence, I guess?" kata Kai membuka pembicaraan.

Rae tersenyum miris.

"I thought I saw you at the convenience store back then," kata Rae.

Kai mengerutkan dahinya, "Kapan?"

"Dua hari yang lalu, kayaknya?"

Wajah Kai kini menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras, mengingat-ingat kapan dia terakhir kali ke minimarket. Tidak butuh waktu lama, laki-laki itu langsung ingat dengan jelas.

"Oh, iya. Itu aku," konfirmasinya.

Tepat setelah mengatakan itu, secangkir hot americano mendarat di meja mereka. Kai mengucapkan terima kasih kepada yang mengantarkan kopinya, lalu ia kembali menatap netra gadis di depannya ini.

"Sendirian, Rae?"

"Basa-basimu masih jelek, ya."

Kai terkekeh pelan.

"Pertanyaanku belum kamu jawab," kata Kai.

Rae mengernyit, "Yang mana?"

"Bengongin apa kalo boleh tau?"

Rae lagi-lagi tersenyum masam. Helaan napas terdengar dari gadis itu sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menatap Kai. Kai sendiri diam. Dia dengar dari teman-teman Rae kalau Rae memang sudah melewati banyak hal. Tapi sialnya, Kai tidak pernah tau apa saja yang telah gadis itu lewati.

"Hidup jadi dua orang yang beda itu capek ya, Kai? Karena pada akhirnya, enggak dua-duanya bisa menang atau bertahan," kata Rae pelan.

Kai menunggu lanjutan kalimat Rae, tapi gadis itu malah memilih untuk diam.

"I thought you are solid, Rae," balas Kai.

Rae diam.

"Semua orang tau seberapa besar dan kuat kemauan kamu buat pergi, ninggalin semuanya yang ada disini. You said this city is a nightmare for you, right? Atau perspektifmu udah berubah?" lanjut Kai.

"Enggak pernah berubah, Kai. This city is still a nightmare."

"Why is that so? Kamu selalu bilang kalau kota ini mimpi buruk kamu, tapi kamu enggak pernah bilang kenapa," sahut Kai.

Rae memejamkan matanya sebentar.

"Being such a mirrorball isn't even fun at all, Kai. Aku selalu coba semuanya, aku coba jadi yang terbaik, aku coba jadi apapun yang mereka mau, aku coba jadi apapun yang aku suka, but all people do is breaking me. Dan semuanya ada di Jakarta, Kai," jelas Rae.

"Rasanya aku enggak pernah cukup," timpal Rae.

Kini Kai yang diam.

"Bahkan sama kamu, aku juga merasa gitu, Kai."

"I am so sorry, Rae," kata Kai.

Rae tersenyum, "Nggak perlu. Kayaknya emang cuman aku yang overfeel."

Kai diam, pelan-pelan mencoba memahami isi kepala gadis di hadapannya ini. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu apa yang ada dalam kepalanya. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu apa yang Rae rasakan juga.

Selama ini, Rae kelihatannya hanya menganggap ini semua angin lalu. Jika ada masalah, gadis itu hanya akan menertawakan apa yang tengah menerpanya. Bahkan teman-teman dekatnya percaya-percaya saja ketika Rae bilang dia baik-baik saja.

Sampai akhirnya mereka menemukan berkas konseling milik Rae.

Kai melirik layar ponselnya, menatap jam yang menunjukkan pukul enam sore dan tanggal yang menunjukkan 8 September 2025.

Ada yang aneh.

"Rae," panggil Kai.

Rae mengangkat pandangannya, menatap Kai. Kedua alisnya naik, "Iya?"

"Kamu harusnya udah enggak disini."

***

hello fellas :9
thank you for reading & see u on the next chap.
—Al.

2 Cups of CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang