Mobil yang dibawa Damar melaju kencang melewati jalan tol. Aku sampai tidak bisa memejamkan mataku karena khawatir dengan mobil yang terlalu kencang ini. Lagian apa sih yang dikejarnya sampai membawa mobil sekencang ini?
Damar menolak menggunakan mobil operasional kantor dengan alasan ada divisi yang lebih membutuhkan mobil kantor, sedangkan dia bisa menggunakan mobil pribadinya. Idenya patut diacungkan jempol karena loyalitasnya pada perusahaan. Cih. Tapi tetap saja di dalam hati aku tidak tahan untuk mencacinya. Dasar lelaki bermuka dua yang hanya ingin dianggap baik oleh perusahaan.
Sudah setengah perjalanan, tapi lelaki di sebelahku ini sama sekali tidak mengajakku berbicara, walaupun sebenarnya aku tidak berharap dia mengobrol panjang lebat denganku. Paling tidak, dia tidak diam seperti patung seperti ini. Melihat sosoknya yang berwajah serius seperti ini membuat kadar kebencianku bertambah berkali-kali lipat.
Calon klien yang akan kami temui berada di Bogor dan ini adalah pertemuan yang kedua setelah beberapa waktu yang lalu pernah dilobi oleh kepala pemasaran yang terdahulu. Tugas Damar hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh kepala pemasaran terdahulu, sama sekali bukan hal yang patut dibanggakan.
Aku melirik ke sebelahku dengan mata yang terasa berat, Damar tampak serius dengan tangannya yang berada di setir. Aku membuang napas panjang dan mulai bosan dengan keheningan ini.
Dulu Damar juga memang tidak banyak bicara tapi aku yang selalu memancing pembicaraan hingga tidak hanya berdiam diri seperti ini. Menyebalkan sekali, saat ini aku tidak sudi berbasa-basi lagi dengannya.
Sejujurnya punggungku terasa pegal dan perutku entah kenapa dari tadi terasa nyeri. Apa mungkin karena nasi uduk yang dibelikan Damar tadi? Tapi ... nyeri di perutku terasa berbeda, bukan karena salah makan. Oh astaga! Jangan bilang kalau ini tanda aku akan datang bulan.
Gara-gara semalam berbohong jika aku sakit perut, pagi ini aku malah sakit perut benaran. Di dalam tasku memang ada pembalut yang setiap saat selalu aku bawa, tapi saat ini aku sedang kebingungan memikirkan bagaimana cara aku minta Damar menghentikan mobilnya hingga aku bisa menggunakan pembalut, sementara lelaki di sebelahku ini terlihat tidak bersahabat.
Bagaimana ini? Apa aku boleh meminta Damar singgah? Sepertinya ada pom bensin terdekat.
Aku berdehem pelan berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang. Kalau tidak sedang bersama Damar, mungkin aku akan dengan santainya minta singgah. Tapi semuanya terasa berbeda karena lelaki itu yang sedang membawa mobil. Sejak menjaga jarak dengan lelaki itu, sejak saat itulah aku merasa kami bukan lagi dua orang yang bisa bicara dengan santai lagi.
Perutku terasa semakin nyeri hingga membuatku mengernyit berusaha menahan rasa sakitnya. Pantas saja dari kemarin aku begitu emosional hingga menjadikan Damar sebagai alasan kekesalanku.
Aku berdehem lagi tapi lelaki di sebelahku ini sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku semakin cemas karena jika dibiarkan lebih lama, bisa saja aku akan mengotori jok mobilnya. Baiklah, kali ini aku akan menurunkan harga diriku.
"Pak ...." Suaraku mendadak menghilang bersamaan dengan Damar yang menoleh sekilas ke arahku. Walaupun hanya sekilas, tatapan matanya terlihat tajam, seperti tidak senang karena aku telah mengganggu konsentrasinya menyetir.
"Pakai pendingin mobil ternyata dingin juga ya," kataku. Aku ngomong apaan sih? Kenapa malah bahas pendingin mobil. Damar terlihat tidak peduli, tapi beberapa saat kemudian tangannya menyentuh tombol untuk menaikkan suhu pendingin mobil.
"Terlalu dingin?" ucapnya, tidak jelas sedang bertanya atau hanya ingin mengulang ucapanku tadi. Aku bukan sedang kedinginan, tapi ingin turun dari mobil dan menggunakan pembalut.
Sekali lagi, kali ini aku pasti bisa. Anggap saja dia masih rekan kerjaku, bukan atasan yang berwajah menyebalkan itu. Aku merasa Damar seperti tidak senang dengan kehadiranku, salahnya sendiri yang memilih mengajakku keluar kota, padahal ada banyak yang bisa diajak selain aku.
Damar mungkin tahu sikapku berubah semenjak dia diumumkan akan menggantikan kepala pemasaran yang sebelumnya. Kami tidak pernah bertukar pikiran ataupun berbicara dengan akrab lagi sejak saat itu. Jadi wajar saja jika saat ini aku merasa kesulitan untuk mengatakan keinginanku pada lelaki ini.
Oke, tarik napas panjang, Bulan. Aku pasti bisa melakukannya.
"Perutku sakit ...," ucapku dan sesaat aku merasa telah salah berbicara. Harusnya bukan membicarakan tentang perut yang sakit, walaupun memang itu yang kurasakan saat ini.
Satu kalimat pendek yang keluar dari mulutmu membuat Damar menurunkan kecepatan mobilnya.
"Tadi aku sudah minta Doni membelikan obat pereda nyeri, kan?" tanyanya seolah ingin menyalahkanku yang tidak boleh mengeluh sakit karena dia sudah membelikan obat buatku.
"Memang sudah," jawabku dengan wajah angkuh agar lelaki itu tahu jika aku sama sekali tidak peduli dengannya walaupun saat ini dia adalah atasanku. Aku tidak boleh menunjukkan wajah cemasku walaupun saat ini sedang merasakannya.
"Kenapa nggak diminum obatnya? Kamu tahu kalau akan keluar kota hari ini dan malah mengabaikan kesehatanmu," omelnya. Keningku berkerut dan tidak menyangka dia akan mengomeliku.
"Kalau tahu kesehatanku sedang tidak baik, kenapa Pak Damar nggak ajak yang lain aja?" balasku dengan perut yang terasa semakin nyeri. Duh, gawat. Sepertinya dudukku terasa semakin tidak nyaman, ada rasa lembab dan lengket yang membuatku cemas.
"Itu karena hanya kamu yang sebelumnya pernah bertemu dengan klien kita. Tidak mungkin mengajak yang lainnya karena mereka tidak tahu apa-apa," balas Damar.
Aku masih ingin berdebat dengannya hingga kepalanya menegang dan tengkuknya terasa sakit, biar tidak hanya aku saja yang merasa kesal. Tapi ada hal penting yang harus aku lakukan saat ini.
"Berhenti di pom bensin itu sekarang!" perintahku karena Damar sepertinya akan melewatkannya. Walaupun terlihat bingung, Damar membelokkan mobilnya ke pom bensin. Saat mobilnya berhenti, aku dengan cepat turun dari mobilnya tanpa berbicara apa pun lagi. Aku bahkan tidak peduli dengan apa yang ada di pikiran Damar saat ini.
Aku bernapas lega setelah menggunakan pembalut dan untung saja tidak sampai mengotori rok yang aku gunakan. Setelah merasa tidak nyaman, kali ini aku berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobil Damar yang menungguku di jalur keluar pom bensin.
"Kenapa nggak bilang kalau lagi sakit perut," ucapnya saat aku membuka pintu. Mataku seketika melotot tajam, bukankah aku sudah mengatakannya tadi?
"Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, perutku nggak sesakit itu kok," balasku sambil pura-pura tersenyum padahal dalam hatiku sedang merasa dongkol.
"Kita pulang saja kalau gitu," katanya. Mataku kembali membesar saat mendengar ucapannya. Pulang katanya? Sudah setengah perjalanan dan dia mengajakku pulang?
"Kenapa pulang? Aku baik-baik aja kok, lagi pula kita sudah setengah perjalanan," balasku dengan nada meninggi.
"Bagaimana kamu bisa bekerja dengan benar jika beberapa saat lagi kamu akan mengeluh kesakitan," ucapnya.
Tunggu dulu ..., jangan-jangan lelaki ini mengira sakit perutku tak tertolong lagi hingga mengira aku akan merengek kesakitan selama perjalanan. Oh astaga! Aku bahkan hanya minta singgah ke pom bensin karena ingin menggunakan pembalut bukan karena diare.
"Pak Damar yang terhormat," ucapku setelah berdehem dan memasang wajah serius. Kekesalanku sebenarnya sudah sampai di ubun-ubun, dia tahu jika semalam aku sakit perut bahkan hingga membelikan obat pereda nyeri buatku, tapi kenapa pagi ini dia malah mengajakku ke luar kota? Itu poin penting yang membuatku kesal walaupun semalam aku memang berbohong padanya mengenai sakit perutku.
"Aku nggak akan minta singgah ke pom bensin lagi," kataku, bahkan kalau kebelet pipis pun, akan kutahan sampai pulang nanti.
Damar memiringkan kepalanya ke arahku, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Pulang saja," katanya dengan wajah datar dan tanpa berbicara apa pun lagi segera menyalakan mobilnya. Ah sial! Entah kenapa aku merasa begitu kesal.(*)
Bab 9 dan 10 barusan di-publish di KaryaKarsa ya. Silahkan mampir buat yang mau baca lebih cepat, link ada di profil ❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Kedua
RomanceSepertinya takdir selalu membuat Bulan menjadi yang kedua. Mantan pacarnya menduakannya dan berselingkuh dengan rekan kerjanya. Di saat yang bersamaan, perusahaan tempatnya bekerja malah mengabaikan Bulan dengan mengangkat Damar yang menurutnya tida...