2. Bocah Sok Dewasa

1.3K 245 5
                                    

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Damar sesaat setelah Leon pergi dari hadapanku. Aku membuang napas kesal, ini ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Keduanya sama-sama sosok yang begitu kuhindari.

"Nggak apa-apa," jawabku sambil mengibas lenganku yang terasa nyeri karena cekalan tangan Leon tadi.

"Aku pulang dulu," kataku akhirnya. Dulu Damar memanggilku dengan panggilan 'kakak', karena aku memang lebih tua tiga tahun darinya dan seniornya di Global Kimia. Tapi entah sejak kapan dia mulai ber-aku kamu denganku. Hanya membuat perasaan tidak enak saja karena kesannya yang sok akrab.

"Acaranya belum selesai." Ucapannya menahan langkahku.

"Aku merasa nggak enak badan," balasku tanpa menoleh ke arahnya.

"Nggak ada yang boleh pulang duluan selama acara belum selesai," katanya dan seketika membuat tanganku terasa gatal ingin menggaruk wajahnya. Oh ... aku baru sadar kenapa dia bersikap menyebalkan seperti itu, mulai saat ini dia atasanku, bukan? Yang membuatku harus menuruti semua perintahnya.

Aku menoleh dan menatap matanya tanpa berkedip. Aku memang mengarang alasan tadi, tapi tanggapan lelaki ini membuatku ingin kembali mengarang kebohongan yang lain.

"Perutku nyeri dan aku nggak yakin bisa bertahan duduk di dalam sana," ucapku setengah mengeluh.

"Jadi, Pak Damar bisa memberikan dispensasi buat saya, kan?" tanyaku dengan nada formal. Karena dia sudah menjadi atasanku, akan kuperlakukan dia seperti yang diinginkannya.

Keningnya terlihat berkerut saat mendengar ucapanku. Semenjak berembus isu yang mengatakan jika Damar akan dipromosikan menjadi kepala bagian pemasaran, menggantikan kepala bagian yang  akan resign, sejak saat itu hubungan kami tidak lagi sama. Aku sudah tidak bisa tersenyum saat mendengar sapaannya atau sekadar berbasa-basi membahas hal sepele pun sudah tidak bisa kulakukan. Aku memang cemburu karena dia yang mendapatkan jabatan itu, tapi bukankah itu hal yang wajar?

"Ini sudah di luar jam kerja, aku nggak bisa berlama-lama menghabiskan waktu di sini," kataku lagi.

"Baik, tapi besok datanglah lebih awal dari yang lainnya karena ada beberapa hal yang harus dikerjakan," katanya dengan nada perintah. Aku baru tahu jika dia bisa berubah menjadi sesombong ini padahal jabatan barunya itu baru saja didapatkannya.

Aku hanya mengangguk mendengar perintahnya dan tanpa bicara lagi segera masuk ke mobilku. Bertemu dengan Leon adalah sebuah kesialan dan kesialan itu bertambah berkali-kali lipat karena harus menghadapi bos baru yang sombongnya mengalahkan artis papan atas ini. 

Entah kenapa Damar tidak segera beranjak dan berdiri menunggu hingga mobilku berlalu dari hadapannya. Aku benci dengan lelaki yang berwajah dua itu, aku benci karena keberuntungan yang didapatkannya.

***

Setelah memutuskan mengakhiri hubungan dengan Leon, aku memblokir semua aksesnya hingga dia akan kesulitan untuk menghubungi apalagi bertemu denganku. Aku mengganti kode apartemenku, memblokir nomor ponselnya dan mengambil jalan berbeda setiap ke kantor. Tapi sepertinya Leon juga mengandalkan segala cara agar bisa bertemu denganku seperti yang dilakukannya kemarin. 

Leon memang begitu posesif bahkan hingga hubungan kami telah berakhir pun dia masih bersikap seperti itu. Ternyata sikap posesifnya tidak menjamin kesetiaannya, nyatanya dia masih saja berselingkuh dengan alasan aku sering mengabaikannya. Alasan yang tidak masuk akal, aku masih tidak bisa menerima jika aku yang disalahkan atas perselingkuhannya itu. 

Ah sial! Kepalaku malah terasa nyeri saat mengingat lelaki itu, ditambah pagi ini aku mesti datang lebih awal ke kantor karena permintaan bos baru yang terhormat itu. 

Bulan yang KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang